Rabu, 30 Mei 2012

Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru Dan Munculnya Reformasi 1988-1998


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang Masah
Realitas sejarah telah mencatat dan memberikan fakta pada generasi bangsa Indonesia, bahwa bangsa ini pernah mengalami suatu pergolakan menuntut perubahan pemerintahan dengan asas Domokrasi. Demokrasi (Demokratizatsiia) yang diusung dengan gerakan reformis (Prestroika) merupakan sebuah jawaban spontan terhadap segala permasalah bangsa dan negara pada masa pemerintahan Orde Baru (Suryanegara, 2010: 528).
Orde Baru adalah sebuah rezim pemerintahan yang dipimpin oleh  Soeharto, tercipta setelah tumbangnya rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno. Berdirinya rezim Orde Baru memiliki kesamaan rentetan peristiwa dengan proses tumbangnya rezim ini. Bagaimana tidak, kemunculan rezim ini merupakan hasil dari usaha long march yang dilakukan secara besar-besaran oleh masyarakat yang notabane adalah golongan muda, terhimpun dalam kesatuan aksi mahasiswa yang menuntut turunya rezim Orde Lama. Selanjutnya ketika rezim Orde Baru telah berkuasa selama berpuluh-puluh tahun di negeri ini, dan pada ahirnya tumbang juga oleh aksi mahasiswa yang sudah jenuh dengan keberadaan Orde Baru.
Meskipun pada awalnya masyarakat merasa bangga dengan seluruh kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengacu kepada Trilogi Pembangunan Nasional, yaitu pertumbuhan yang semakin mantap, pemerataan pembangunan, dan stabilitas yang semakin memasyarakat (Taopan, 1992: 19-20).  Akan tetapi seiring perkembangan zaman, ralitas dari implementasi kebijakan pemerintah Orde Baru semakin melenceng, keluar dari jalur kebijakan awal. Ahirnya kondisi tersebut mengakibatkan keterpurukan multidimensi dalam kehidupan berbangsa, yang berujung pada munculnya tuntutan masyarakat untuk diadakannya suatu perubahan (Ricklefs, 2008: 588).
Tuntutan perubahan yang diinginkan masyarakat terprogram dalam agenda Reformasi yang menginginkan. Demokrasi sebagai muara ahir sebuah sistem pemerintahan. Proses Reformasi yang menempatkan mahasiswa sebagai leader tidaklah berjalan mudah, ada proses panjang, dan sangat heroik yang dilalui untuk menciptakan kondisi tersebut.
Pergerakan golongan intlektual muda yang menuntut mundurnya rezim Orde Baru dan menginginkan Reformasi, bukanlah suatu gerakan yang tidak dilandasi oleh latar belakang. “Seperti yang sudah terpaparkan di atas,  yang dapat dibahasakan”, “bahwa kondisi pemerintahan yang sudah tidak sesuai dengan jiwa zaman merupakan salah satu latar belakang penyebabnya. Pola pikir masyarakat pada masa itu sudah mulai terbuka dan berani untuk speak up (berbicara). Masyarakat sudah mulai sadar bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah rezim Orde Baru dengan sistem militerisme, yang memboikot hak berbicara dipublik, dan mengesampingkan HAM (Hak Asasi Manusia), pada abad ke-20 bukanlah zamannya lagi (Ricklefs, 2008: 587).
Alhasil pergerakan masyarakat dengan menggunakan Reformasi dan Demokrasi sebagai kuda tunggangan berhasil menjemput tuntutannya. Gerakan Reformasi berhasil melengserkan kedudukan Soeharto dan menumbangkan rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998, Kamis Legi, 24 Muharram 1419 (Suryanegara, 2010: 528-529). Dengan tumbangnya rezim Orde Baru bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi oleh asas Demokrasi.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, pemakalah mempunyai dua rumusan masalah yang berkaitan erat dengan “Jatuhnya Orde Baru dan Munculnya Reformasi”. Adapun rumusan masalah tersebut adalah:
1.2.1        Seperti apakah kondisi pemerintahan Rezim Orde Baru sekitar tahun 1988-1998?
1.2.2        Seperti apakah idiologi yang diusung Reformasi, untuk menjatuhkan Rezim Orde Baru?

1.3    Tujuan Masalah
Dari latar belakang masalah yang menghasilkan rumusan masalah, pemakalah mempunyai konsep yang jelas mengenai tujuan dari pembahasan masalah yang akan dipaparkan. Adapun tujuan masalah yang ingin dihadirkan adalah:
1.3.1        Untuk mengetahui kondisi pemerintahan Rezim Orde Baru sekitar tahun 1988-1998.
1.3.2        Untuk mengetahui idiologi yang diusung Reformasi, untuk menjatuhkan Rezim Orde Baru.



BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Kondisi Pemerintahan Rezim Orde Baru Sekitar Tahun 1988-1998
Pada awal pemerintahannya Orde Baru memberikan sebuah dinamika pemerintahan yang positif. Dinamika tersebut diapresiasi posotif pula oleh masyarakat yang merasakan adanya sebuah perubahan. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, stabilitas masyarakat selalu dikedepankan. Penyelenggaraan kehidupan sosial masyarakat dipenuhi dengan pembangunan sarana publik secara menyeluruh (Danusaputro, 1984: 166).
Selanjutnya Soeharto dalam memegang tongkat pemerintahan, terkait dengan politik luar negerinya, berinteraksi baik dengan beberapa negara besar seperti kunjungannya ke Uni Soviet pada tahun 1989 sebelum Uni Soviet runtuh. Soeharto juga menormalkan hubungan Indonesia dengan Cina pada tahun 1989, Soeharto dengan perdana menteri Cina Li Peng saling bertukar kunjungan pada tahun 1990 dan Jakarta menerima Duta Besar Palestina pertama, yang kesemua langkah ini meningkatkan kedudukan Indonesia dalam Gerakan Non Blok (Ricklefs, 2008:665).
Akan tetapi kondisi yang telah terpaparkan di atas seakan-akan bertolak belakang dengan kondisi Indonesia pada tahapan selanjutnya. Oleh sebab itu dalam pembahasan ini akan coba dipaparkan mengenai kondisi pemerintahan Rezim Orde Baru sekitar tahun 1988-1998. Kisaran tahun tersebut dipergunakan, kareana antara tahun 1988-1998 merupakan masa-masa kisruh yang terjadi dalam pemerintahan.
Indonesia dibawah Rezim Soeharto pada perkembangan selanjutnnya banyak melakukan kekerasan dan berbagai tekanan terhadap rakyatnya karena perkembangan-perkembangan Internasional terutama keruntuhan Uni Soviet (Ricklefs, 2008: 659).

Hal tersebut disebabkan oleh pemerintah dan militer yang khawatir Indonesia dengan segala potensi kekerasan etnisnya juga akan runtuh seperti Uni Soviet. Rezim Soeharto melakukan hal ini ketika kelas menengah Indonesia mulai tidak begitu toleran terhadap penyimpangan-penyimpangan rezim, dan ketika peningkatan rasa keIslaman telah menuntut adanya keadilan dan moralitas yang semakin besar. Dalam kondisi penuh tantangan ini, keluarga Soeharto dan klik penguasa semakin menggila dalam korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan mereka. Kemudian, krisis keuangan Asia menceburkan Indonesia kedalam bencana Ekonomi, sehingga tidak ada lagi alasan utama rakyat untuk mendukung pemerintahan. Pada tahun 1998, rezim Soeharto runtuh ditengah-tengah suasana yang mirip dengan suasana kelahirannya ditahun 1965-1966, yaitu ditengah krisis ekonomi, kerusuhan, dan pertumpahan darah di jalan-jalan.

Berdasarkan kutipan di atas dapat dipaparkan lebih jauh lagi mengenai kondisi pemerintahan pada masa pemerintahan Orde Baru sekitar tahun 1988-1998. Pemberontakan separatisme muncul pada mei 1988, dan menjadi serius pada tahun 1989 ketika GAM (Gerakan Aceh Merdeka) menyerang pos-pos ABRI dan mengambil senjata. Pemberontakan ini didasari oleh rasa ketidak puasan penduduk lokal terhadap pembangunan di Lhokseumawe padahal secara khusus, Boom Gas Alam Cair menghasilkan pendapatan tinggi sektor migas lokal, namun Aceh mendapatkan bagian yang kecil sedangkan pembangunan masih terfokus di Jakarta. Pada awal 1989 di Lampung, Sumatra Selatan terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh para tokoh religius lokal. Militer merespon gerakan ini dengan sangat brutal dengan membunuh seratus orang desa yang menuntut tentang hak tanah. Timor Timur kurang diperhatikan pembangunannya padahal Timor Timur dieksploitasi sumber dayanya (terutama kopi, kayu cendana, dan marmer) oleh tokoh-tokoh senior ABRI dan oleh kebrutalan ABRI. Pada bulan Oktober 1989, saat Paus Paulus Johannes II mengunjungi Dili, beliau meresmikan katedral dan mengadakan misa terbuka didepan 10.000 orang. Kemudian, terjadi demonstrasi pro-kemerdekaan setelah misa, polisi dihadapan kamera-kamera jurnalis Internasional yang meliput Paus Paulus itu memukuli para demonstran.
Terbongkarnya aib, mungkin itulah kondisi yang dapat dipaparkan terhadap pemerintahan Soeharto.  Pada awal tahun 1990_an, korupsi rezim sudah begitu menggurita dan menjadi rahasia umum di dalam dan luar negeri. Pada Pertengahan 1990, karena memuncaknya pemberontakan, Jakarta mengirim pasukan Kostrad ke Aceh dibawah pimpinan Prabowo. Anak-anak Soeharto menikmati transaksi istiwa dalam jalan tol, impor komodias strategis, ekploitasi sumber daya alam, dan dalam banyak bidang lain. Beberapa cukong yang dulu mendapatkan kekayaan kotor hasil kerjasama dengan Soeharto kini diperkirakan sekitar 70% kegiatan ekonomi swasta berada ditangan orang Cina pada tahun 1990_an (Ricklefs, 2008: 669).
Pada bulan September 1991, Indonesia terpilih sebagai presiden Gerakan Non Blok dan tahun berikutnya diadakan konferensi puncak di Jakarta. Dalam usaha untuk mengooptasi dan mendapatkan simpati dari kaum islam sebagai penduduk mayoritas Indonesia, Soeharto pergi ke Mekah pada tahun 1991 dan menyandang nama “Haji Muhamad Soeharto”. Soeharto juga mencari dukungan dari para pengusaha pribumi yang dianggap sering menunjukan keislamannya (Ricklefs, 2008: 666).
Putra-putri Soeharto menjalankan perusahaan pengumpul uang dengan skala besar. Perusahaan Hutomo Mandala Putra (Tommy, lahir 1962) diperkirakan mengumpulkan pendapatan lebih dari US$ 500 jua pada tahun 1992 (Ricklefs, 2008: 669).
Pada tahun 1993, angkatan darat memiliki personel yang jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Angkatan laut dan Udara memiliki peralatan yang buruk, dan keduanya tidak mampu menampilkan diri sebagai kekuatan yang tangguh. Padahal, mengingat kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan, dua angkatan inilah yang merupakan lini terdepan pertahanan terhadap konflik Internasional. MPR pada bulan maret 1993 kembali memilih Soeharto menjadi presiden yang keenamkalinya dan Soeharto memilih Sudharmono sebagai wakilnya (Ricklefs, 2008: 675).
Pada tahun 1993-1994, pemerintah memperkenalkan berbagai kebijakan untuk mendorong investasi asing yang melorot pada tahun-tahun sebelumnya karena korupsi dalam dunioa bisnis Indonesia. Tetapi, inflasi tidak berada jauh dibawah angka pertumbuhan dan investasi asing kembali turun dengan sebelumnya yang naik karena kebijakan-kebijakan tersebut.
Pada bulan September-Oktober 1995, terjadi kerusuhan di Timor Timur yang dipicu oleh laporan bahwa seorang sipir muslim di sebuah penjara di sana telah terang-terangan melecehkan katolik (Ricklefs, 2008: 682). Perlu ditambahkan bahwa penduduk Timor Timur mayoritas beragama atau mulai menganut Katolik yang sebelumnya daerah pedalaman masih menganut Animisme, mereka berubah Katolik sebagai wujud protes terhadap pemerintahan Jakarta yang mayoritas Islam.
Sepanjang 1996, perpecahan rezim mulai tampak. Segi-seginya yang terbentuk membuat banyak orang Indonesia berpikir bahwa bangsa mereka tidak lagi bisa mentolerir rezim ini karena lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya (Ricklefs, 2008: 683). Salah satu skandal bisnis keluarga Cendana yang paling mencolok mencuat pada awal tahun 1996, dikabarkan Indonesia akan merakit mobil nasionalnya sendiri di dalam negeri, yang mensyaratkan adanya pembebasan pajak. Dengan Kepres, kontrak perakitan itu jatuh ke tangan Tommy Soeharto dan ke tangan perusahaan manufaktur mobil dari Korea, Kia, yang dibebaskan dari pajak dan bea masuk. Namun perakitan mobil ini bukan dibuat di Indonesia melainkan perakitan itu sepenuhnya rakitan Kia yang diberi label mobil nasional dan terbebas pajak sehingga menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Kampanye Pemilu Mei 1997 merupakan fokus ketidakpuasan sosial politik. Kampanye ini merupakan kampanye terbrutal dalam sejarah pemerintahan Soehato. Iring-iringan pawai politik menggunakan motor menyebabkan banyak kematian, diperkirakan mencapai 250 orang (Ricklefs, 2008: 686). Kemudian krisis Asia yang dimulai di Thailand menghantam Indonesia yang menyebabkan nilai tukar Rupiah turun drastis pada tahun 1997. Pada bulan Januari 1998, Soeharto mengumumkan rancangan anggaran negara yang absurb karena memasukan asumsi nilai tukar rupiah yang berlaku enam bulan sebelumnya. Soeharto mengangkat orang-orang kepercayaannya kedalam posisi penting. Mantan ajudannya dan kepala staf Jendral Wiranto ditunjuk sebagai Panglima ABRI pada bulan februari 1998. Menantu Soeharto, diserahi jabatan Pimpinan Kostrad pada bulan Maret. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Soeharto merupakan usaha untuk mempertahankan status quo pemerintahan rezin Orde Baru.

 2.2  Idiologi yang Diusung Reformasi, untuk Menjatuhkan Rezim Orde Baru
Adanya kondisi pemerintahan yang sudah tidak setabil pada masa pemerintahan Orde Baru (seperti yang sudah terpaparkan pada pembahasan 2.1) memeberikan implikasi, bagi munculnya keinginan masyarakat untuk melakukan sebuah perubahan.
Terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden pada tahun 1988, untuk yang ke-V kalinya dengan masa bakti 1988-1993, tidak memudarkan keinginan masyarakat untuk melakukan sebuah perubahan (Gafur, 1992: 492-494). Meskipun ada pernyataan sebagai berikut:

Pada saat pelantikan ke-V kalinya tanggal 11 Maret 1988 untuk pertama kalinya istri pak hato Siti Hartinah Soeharto beserta putra putrinya duduk di antara para undangan VIP di panggung kehormatan. Moment tersebut dikarenakan pelantikan Soeharto pada kali ini adalah pelantikannya yang terahir sebagai Presiden. Dalam pidatonya Soeharto mengutarakan pernyataan “Bahwasanya di antara anak-anak saya ada yang menghadiri pelantikan hari ini, dikarenakan pelantikan hari ini adalah pelantikan saya untuk yang terahir kalinya sebagai Presiden, itu bisa dimaklumi karena dilihat dari segi rasio manusia, memang pada usia saya yang sudah akan mencapai 67 tahun ini, pantas saja pelantikan ini yang terahir untuk saya. Kalau sampai selesai saya merampungkan tugas sebagai presiden masa bakti 1988-1992, berarti nanti pada usia mendekati 72 tahun saya berhenti sebagai presiden”.

Tekad Soeharto untuk melanjutkan pemerintahan dan merampungkan semua tugas negaranya, ternyata tidak diamini oleh masyarakat Indonesia. Karena memasuki tahun 1990_an masyarakat Indonesia sudah mulai melakukan tuntutan untuk menurunkan Soeharto sebagai presiden.
Usaha yang dilakukan oleh masyarakat dengan dipelopori oleh golongan intelektual muda khususnya kalangan mahasiswa, untuk menurunkan Soeharto adalah Reformasi dengan idiologi Demokrasi. Diusungnya Reformasi untuk menggalang perubahan, merupakan jawaban terhadap segala bentuk penyelewengan Pancasila dan UUD 45 yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.
Apabila kita mengkaji sungguh-sungguh masa sebelum masa Orde Baru tentu dengan sadar dan penuh rasa syukur kita mengaminkan komitmen Orde Baru untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen (Taopan, 1992: 37). Karena Pancasila sudah merupakan pandangan hidup yang berakar dalam keperibadian bangsa, maka ia diterima sebagai dasar yang mengatur hidup ketatanegaraan (Taopan, 1992: 38). Akan tetapi kondisi selanjutnya menempatkan komitmen tersebut sebagai sebuah landasan teoritis yang bertolak belakang dengan ralita. Karena, penyelenggaraan pemerintahaan yang dilandasi dengan idiologi Pancasila dan pelaksanaan UUD 45, dijadikan sebagai instrumen politik kepentingan oleh Orde Baru (Danusaputro, 1984: 166).
Berkembangnya politik kepentingan dengan menggunakan Pancasila dan UUD 45 sebagai bantu loncatan untuk menggapai eksistensi, menyebabkan hilangnya esensial dari landasan negara. Bahkan lebih parah lagi hilangnya Hak Asasi Manusia (HAM), sebagai masyarakat menjadi taruhan dalam perjalanan panjang pemerintahan Orde Baru. Kondisi tersebut tak ayal memunculkan tuntutan terhadap pemberlakuan Demokrasi.

“Sekarang kita punya stabilitas. Bahkan jika orang bilang kita tidak punya demokrasi, itu tidak masalah karena kita punya stabilitas. Dan yang paling penting dengan begitu terdapat perkembangan” (pernyataan Laksamana Sudomo, 1983 dalam Jenkins, 2010: 319).

Kutipan pernyataan tersebut membrikan gambaran pada kita bagaimana pada masa Orde Baru kondisi stabilitas yang dipaksakan, dipertegas sebagai sebuah kondisi demokrasi.
Lanjut memasuki pembahasan tentang munculnya Reformasi dengan memanfaatkan idiologi demokrasi sebagai sebuah tuntutan untuk menjatuhkan rezim Orde Baru, dapat kita lihat melalui aksi-aksi protes turun kejalan, yang dilakukan oleh para mahasiswa.
Sebenarnya pada tahun 1967, protes terhadap Orde Baru sudah mulai muncul. Dipelopori oleh para mahasiswa, aliansi-aliansi yang pada awalnya setia terhadap Orde Baru mulai berdemonstrasi mengkritik pemerintahan, meminta harga diturunkan dan tindakan korupsi dihentikan (Ricklefs, 2008: 606). Namun aksi tersebut sempat vakum, dikarenakan adanya kooptasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Tuntutan akan Reformasi terus meningkat seiring semakin memburuknya krisis ekonomi dan semakin jelas bahwa rezim tidak mampu mereformasikan dirinya. Amien Rais dari Muhammadiyah merupakan salah satu pengecam yang paling menonjol pada tahap ini. Demonstrasi mahasiswa semakin marak. ABRI membiarkannya, selama aksi tersebut dilakukan dalam kampus. Tapi, pada awal Mei 1998, mahasiswa sudah mulai turun ke jalan-jalan di kota besar. Menanggapi aksi mahasiswa tersebut, ABRI melakukan penembakan terhadap mahasiswa, yang di antaranya adalah mengakibatkan 4 orang mahasiswa mati pada tanggal 12 Mei, di Universitas Trisakti (Ricklefs, 2008: 689).
Pembunuhan mahasiswa Trisakti merupakan titik balik karena kematian mereka menggambarkan keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi Rezim, dan kemustahilan akan adanya Reformasi. Soeharto yang pergi ke Kairo untuk menghadiri konferensi puncak pada tanggal 7 Mei 1998, namun segera kembali paada tanggal 15 Mei 1998. Seiring dengan Jakarta yang semakin kacau, bahkan para anggota MPR, Golkar, dan ABRI siap mendukung diadakannya sidang istimewa untuk memilih presiden baru. pada tanggal 20 Mei 1998 14 Menteri yang ditunjuk Soeharto untuk membentuk kabinet menolak kabinet atau jabatan tersebut sedangkan Soeharto mulai “Kebakaran Jenggot”. Tanggal 21 Mei 1998 pagi, awak televisi dipanggil ke Istana negara untuk mengabadikan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden. Wakil Presidennya, Habibie, segera disumpah segera disumpah sebagai Presiden Indonesia ketiga Indonesia (1998-1999).


BAB III
PENUTUP


3.1 Simpulan
Realitas sejarah telah mencatat dan memberikan fakta pada generasi bangsa Indonesia, bahwa bangsa ini pernah mengalami suatu pergolakan menuntut perubahan pemerintahan dengan asas Domokrasi. Demokrasi (Demokratizatsiia) yang diusung dengan gerakan reformis (Prestroika) merupakan sebuah jawaban spontan terhadap segala permasalah bangsa dan negara pada masa pemerintahan Orde Baru.
Tuntutan akan Reformasi terus meningkat seiring semakin memburuknya krisis ekonomi dan semakin jelas bahwa rezim tidak mampu mereformasikan dirinya. Pada awal Mei 1998, mahasiswa sudah mulai turun ke jalan-jalan di kota besar. Menanggapi aksi mahasiswa tersebut, ABRI melakukan penembakan terhadap mahasiswa, yang di antaranya adalah mengakibatkan 4 orang mahasiswa mati pada tanggal 12 Mei, di Universitas Trisakti.
Pembunuhan mahasiswa Trisakti merupakan titik balik karena kematian mereka menggambarkan keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi Rezim, dan kemustahilan akan adanya Reformasi. Ahirnya, pada tanggal 21 Mei 1998 rezim Soeharto berhsil dilengserkan, dan pada ahirnya Reformasi dengan idiologi Demokrasi dapat ditegakkan.