BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masah
Realitas sejarah
telah mencatat dan memberikan fakta pada generasi bangsa Indonesia, bahwa
bangsa ini pernah mengalami suatu pergolakan menuntut perubahan pemerintahan
dengan asas Domokrasi. Demokrasi (Demokratizatsiia)
yang diusung dengan gerakan reformis (Prestroika)
merupakan sebuah jawaban spontan terhadap segala permasalah bangsa dan negara pada masa pemerintahan
Orde Baru (Suryanegara, 2010: 528).
Orde Baru adalah
sebuah rezim pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto, tercipta setelah tumbangnya rezim
Orde Lama yang dipimpin Soekarno. Berdirinya rezim Orde Baru memiliki kesamaan
rentetan peristiwa dengan proses tumbangnya rezim ini. Bagaimana tidak,
kemunculan rezim ini merupakan hasil dari usaha long march yang dilakukan secara besar-besaran oleh masyarakat yang notabane
adalah golongan muda, terhimpun dalam kesatuan aksi mahasiswa yang menuntut
turunya rezim Orde Lama. Selanjutnya ketika rezim Orde Baru telah berkuasa
selama berpuluh-puluh tahun di negeri ini, dan pada ahirnya tumbang juga oleh
aksi mahasiswa yang sudah jenuh dengan keberadaan Orde Baru.
Meskipun pada
awalnya masyarakat merasa bangga dengan seluruh kebijakan pemerintah Orde Baru
yang mengacu kepada Trilogi Pembangunan Nasional, yaitu pertumbuhan yang
semakin mantap, pemerataan pembangunan, dan stabilitas yang semakin
memasyarakat (Taopan, 1992: 19-20). Akan
tetapi seiring perkembangan zaman, ralitas dari implementasi kebijakan
pemerintah Orde Baru semakin melenceng, keluar dari jalur kebijakan awal.
Ahirnya kondisi tersebut mengakibatkan keterpurukan multidimensi dalam
kehidupan berbangsa, yang berujung pada munculnya tuntutan masyarakat untuk
diadakannya suatu perubahan (Ricklefs,
2008: 588).
Tuntutan perubahan yang diinginkan masyarakat terprogram dalam agenda Reformasi
yang menginginkan. Demokrasi sebagai muara ahir sebuah sistem pemerintahan.
Proses Reformasi yang menempatkan mahasiswa sebagai leader tidaklah berjalan mudah, ada proses panjang, dan sangat heroik yang dilalui untuk menciptakan
kondisi tersebut.
Pergerakan golongan
intlektual muda yang menuntut mundurnya rezim Orde Baru dan menginginkan Reformasi, bukanlah suatu gerakan yang tidak dilandasi oleh latar belakang. “Seperti yang sudah terpaparkan di atas, yang dapat dibahasakan”, “bahwa kondisi pemerintahan yang sudah tidak sesuai dengan jiwa zaman
merupakan salah satu latar belakang penyebabnya”. Pola pikir masyarakat pada masa itu sudah mulai
terbuka dan berani untuk speak up
(berbicara). Masyarakat sudah mulai sadar bahwa kehidupan berbangsa dan
bernegara di bawah rezim Orde Baru dengan sistem militerisme, yang memboikot
hak berbicara dipublik, dan
mengesampingkan HAM (Hak Asasi Manusia), pada abad ke-20
bukanlah zamannya lagi (Ricklefs,
2008: 587).
Alhasil pergerakan masyarakat dengan menggunakan Reformasi dan Demokrasi
sebagai kuda tunggangan berhasil menjemput tuntutannya. Gerakan
Reformasi berhasil melengserkan kedudukan Soeharto dan menumbangkan rezim Orde
Baru pada 21 Mei 1998, Kamis Legi, 24 Muharram 1419 (Suryanegara, 2010:
528-529). Dengan tumbangnya rezim
Orde Baru bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam perjalanan kehidupan
berbangsa dan bernegara, yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi
oleh asas Demokrasi.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, pemakalah mempunyai dua
rumusan masalah yang berkaitan erat dengan “Jatuhnya
Orde Baru dan Munculnya Reformasi”. Adapun rumusan masalah tersebut adalah:
1.2.1
Seperti
apakah kondisi pemerintahan Rezim Orde Baru sekitar tahun 1988-1998?
1.2.2
Seperti apakah
idiologi yang diusung Reformasi, untuk menjatuhkan Rezim Orde Baru?
1.3 Tujuan
Masalah
Dari latar belakang masalah yang menghasilkan rumusan masalah, pemakalah
mempunyai konsep yang jelas mengenai tujuan dari pembahasan masalah yang akan
dipaparkan. Adapun tujuan masalah yang ingin dihadirkan adalah:
1.3.1
Untuk
mengetahui kondisi pemerintahan Rezim Orde Baru sekitar tahun 1988-1998.
1.3.2
Untuk
mengetahui idiologi yang diusung Reformasi, untuk menjatuhkan Rezim Orde Baru.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kondisi
Pemerintahan Rezim Orde Baru Sekitar Tahun 1988-1998
Pada awal pemerintahannya Orde Baru memberikan sebuah dinamika
pemerintahan yang positif. Dinamika tersebut diapresiasi posotif pula oleh
masyarakat yang merasakan adanya sebuah perubahan. Pada
masa awal pemerintahan Orde Baru, stabilitas masyarakat selalu dikedepankan.
Penyelenggaraan kehidupan sosial masyarakat dipenuhi dengan pembangunan sarana
publik secara menyeluruh (Danusaputro, 1984: 166).
Selanjutnya Soeharto dalam memegang tongkat pemerintahan, terkait dengan
politik luar negerinya, berinteraksi baik dengan beberapa negara besar seperti
kunjungannya ke Uni Soviet pada tahun 1989 sebelum Uni Soviet runtuh. Soeharto
juga menormalkan hubungan Indonesia dengan Cina pada tahun 1989, Soeharto
dengan perdana menteri Cina Li Peng saling bertukar kunjungan pada tahun 1990
dan Jakarta menerima Duta Besar Palestina pertama, yang kesemua langkah ini
meningkatkan kedudukan Indonesia dalam Gerakan Non Blok (Ricklefs, 2008:665).
Akan tetapi kondisi yang telah terpaparkan di atas seakan-akan bertolak
belakang dengan kondisi Indonesia pada tahapan selanjutnya. Oleh sebab itu dalam
pembahasan ini akan coba dipaparkan mengenai kondisi pemerintahan Rezim Orde Baru sekitar tahun 1988-1998.
Kisaran tahun tersebut dipergunakan, kareana antara tahun 1988-1998 merupakan
masa-masa kisruh yang terjadi dalam pemerintahan.
Indonesia dibawah Rezim Soeharto pada perkembangan selanjutnnya banyak
melakukan kekerasan dan berbagai tekanan terhadap rakyatnya karena perkembangan-perkembangan
Internasional terutama keruntuhan Uni Soviet (Ricklefs, 2008: 659).
Hal
tersebut disebabkan oleh pemerintah dan militer yang khawatir Indonesia dengan
segala potensi kekerasan etnisnya juga akan runtuh seperti Uni Soviet. Rezim
Soeharto melakukan hal ini ketika kelas menengah Indonesia mulai tidak begitu
toleran terhadap penyimpangan-penyimpangan rezim, dan ketika peningkatan rasa
keIslaman telah menuntut adanya keadilan dan moralitas yang semakin besar.
Dalam kondisi penuh tantangan ini, keluarga Soeharto dan klik penguasa semakin
menggila dalam korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan mereka. Kemudian, krisis
keuangan Asia menceburkan Indonesia kedalam bencana Ekonomi, sehingga tidak ada
lagi alasan utama rakyat untuk mendukung pemerintahan. Pada tahun 1998, rezim
Soeharto runtuh ditengah-tengah suasana yang mirip dengan suasana kelahirannya
ditahun 1965-1966, yaitu ditengah krisis ekonomi, kerusuhan, dan pertumpahan
darah di jalan-jalan.
Berdasarkan kutipan di atas dapat dipaparkan lebih jauh lagi mengenai
kondisi pemerintahan pada masa pemerintahan Orde Baru sekitar tahun 1988-1998. Pemberontakan separatisme muncul pada mei 1988, dan menjadi serius pada
tahun 1989 ketika GAM (Gerakan Aceh Merdeka) menyerang pos-pos ABRI dan
mengambil senjata. Pemberontakan ini didasari oleh rasa ketidak puasan penduduk lokal
terhadap pembangunan di Lhokseumawe padahal secara khusus, Boom Gas Alam Cair menghasilkan pendapatan tinggi sektor migas
lokal, namun Aceh mendapatkan bagian yang kecil sedangkan pembangunan masih
terfokus di Jakarta. Pada awal 1989 di Lampung, Sumatra Selatan terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh para tokoh religius lokal. Militer merespon gerakan ini
dengan sangat brutal dengan membunuh seratus orang desa yang menuntut tentang
hak tanah. Timor Timur kurang diperhatikan pembangunannya padahal Timor Timur
dieksploitasi sumber dayanya (terutama kopi, kayu cendana, dan marmer) oleh
tokoh-tokoh senior ABRI dan oleh kebrutalan ABRI. Pada bulan Oktober 1989, saat
Paus Paulus Johannes II mengunjungi Dili, beliau meresmikan katedral dan
mengadakan misa terbuka didepan 10.000 orang. Kemudian, terjadi demonstrasi
pro-kemerdekaan setelah misa, polisi dihadapan kamera-kamera jurnalis
Internasional yang meliput Paus Paulus itu memukuli para demonstran.
Terbongkarnya aib, mungkin itulah kondisi yang dapat dipaparkan terhadap
pemerintahan Soeharto. Pada awal tahun 1990_an, korupsi rezim sudah begitu menggurita dan
menjadi rahasia umum di dalam dan luar negeri. Pada Pertengahan 1990, karena
memuncaknya pemberontakan, Jakarta mengirim pasukan Kostrad ke Aceh dibawah
pimpinan Prabowo. Anak-anak Soeharto menikmati transaksi istiwa dalam jalan
tol, impor komodias strategis, ekploitasi sumber daya alam, dan dalam banyak
bidang lain. Beberapa cukong yang dulu mendapatkan kekayaan kotor hasil
kerjasama dengan Soeharto kini diperkirakan sekitar 70% kegiatan ekonomi swasta
berada ditangan orang Cina pada tahun 1990_an (Ricklefs, 2008: 669).
Pada bulan September 1991, Indonesia terpilih sebagai presiden Gerakan
Non Blok dan tahun berikutnya diadakan konferensi puncak di Jakarta. Dalam usaha untuk
mengooptasi dan mendapatkan simpati dari kaum islam sebagai penduduk mayoritas
Indonesia, Soeharto pergi ke Mekah pada tahun 1991 dan menyandang nama “Haji
Muhamad Soeharto”. Soeharto juga mencari dukungan dari para pengusaha pribumi
yang dianggap sering menunjukan keislamannya (Ricklefs, 2008: 666).
Putra-putri
Soeharto menjalankan perusahaan pengumpul uang dengan skala besar. Perusahaan
Hutomo Mandala Putra (Tommy, lahir 1962) diperkirakan mengumpulkan pendapatan
lebih dari US$ 500 jua pada tahun 1992 (Ricklefs, 2008: 669).
Pada tahun 1993,
angkatan darat memiliki personel yang jauh lebih banyak bila dibandingkan
dengan Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Angkatan laut dan Udara memiliki
peralatan yang buruk, dan keduanya tidak mampu menampilkan diri sebagai
kekuatan yang tangguh. Padahal, mengingat kondisi Indonesia sebagai negara
kepulauan, dua angkatan inilah yang merupakan lini terdepan pertahanan terhadap
konflik Internasional. MPR pada bulan maret 1993 kembali memilih Soeharto
menjadi presiden yang keenamkalinya dan Soeharto memilih Sudharmono sebagai
wakilnya (Ricklefs, 2008: 675).
Pada tahun 1993-1994, pemerintah memperkenalkan berbagai kebijakan untuk
mendorong investasi asing yang melorot pada tahun-tahun sebelumnya karena
korupsi dalam dunioa bisnis Indonesia. Tetapi, inflasi tidak berada jauh
dibawah angka pertumbuhan dan investasi asing kembali turun dengan sebelumnya
yang naik karena kebijakan-kebijakan tersebut.
Pada bulan September-Oktober 1995, terjadi kerusuhan di Timor Timur yang
dipicu oleh laporan bahwa seorang sipir muslim di sebuah penjara di sana telah
terang-terangan melecehkan katolik (Ricklefs, 2008: 682). Perlu ditambahkan bahwa penduduk Timor Timur mayoritas
beragama atau mulai menganut Katolik yang sebelumnya daerah pedalaman masih
menganut Animisme, mereka berubah Katolik sebagai wujud protes terhadap
pemerintahan Jakarta yang mayoritas Islam.
Sepanjang 1996, perpecahan rezim mulai tampak. Segi-seginya yang
terbentuk membuat banyak orang Indonesia berpikir bahwa bangsa mereka tidak
lagi bisa mentolerir rezim ini karena lebih banyak mudaratnya daripada
manfaatnya (Ricklefs, 2008: 683). Salah satu skandal bisnis keluarga Cendana
yang paling mencolok mencuat pada awal tahun 1996, dikabarkan Indonesia akan
merakit mobil nasionalnya sendiri di dalam negeri, yang mensyaratkan adanya
pembebasan pajak. Dengan Kepres, kontrak perakitan itu jatuh ke tangan Tommy
Soeharto dan ke tangan perusahaan manufaktur mobil dari Korea, Kia, yang
dibebaskan dari pajak dan bea masuk. Namun perakitan mobil ini bukan dibuat di
Indonesia melainkan perakitan itu sepenuhnya rakitan Kia yang diberi label
mobil nasional dan terbebas pajak sehingga menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Kampanye Pemilu Mei 1997 merupakan fokus ketidakpuasan sosial politik.
Kampanye ini merupakan kampanye terbrutal dalam sejarah pemerintahan Soehato.
Iring-iringan pawai politik menggunakan motor menyebabkan banyak kematian,
diperkirakan mencapai 250 orang (Ricklefs, 2008: 686). Kemudian krisis Asia yang dimulai di Thailand
menghantam Indonesia yang menyebabkan nilai tukar Rupiah turun drastis pada
tahun 1997. Pada bulan Januari 1998, Soeharto mengumumkan rancangan anggaran
negara yang absurb karena memasukan asumsi nilai tukar rupiah yang berlaku enam
bulan sebelumnya. Soeharto mengangkat orang-orang kepercayaannya kedalam posisi
penting. Mantan ajudannya dan kepala staf Jendral Wiranto ditunjuk sebagai
Panglima ABRI pada bulan februari 1998. Menantu Soeharto, diserahi jabatan
Pimpinan Kostrad pada bulan Maret. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
Soeharto merupakan usaha untuk mempertahankan status quo pemerintahan rezin Orde
Baru.
2.2 Idiologi
yang Diusung Reformasi, untuk Menjatuhkan Rezim Orde Baru
Adanya kondisi pemerintahan yang sudah tidak setabil pada masa
pemerintahan Orde Baru (seperti yang sudah terpaparkan pada pembahasan 2.1)
memeberikan implikasi, bagi munculnya keinginan masyarakat untuk melakukan
sebuah perubahan.
Terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden pada tahun 1988, untuk yang ke-V kalinya
dengan masa bakti 1988-1993, tidak
memudarkan keinginan masyarakat untuk melakukan sebuah perubahan (Gafur, 1992: 492-494).
Meskipun ada pernyataan sebagai berikut:
Pada saat pelantikan ke-V kalinya tanggal 11 Maret 1988
untuk pertama kalinya istri pak hato Siti Hartinah Soeharto beserta putra
putrinya duduk di antara para undangan VIP di panggung kehormatan. Moment
tersebut dikarenakan pelantikan Soeharto pada kali ini adalah pelantikannya yang
terahir sebagai Presiden. Dalam pidatonya Soeharto mengutarakan pernyataan
“Bahwasanya di antara anak-anak saya ada yang menghadiri pelantikan hari ini,
dikarenakan pelantikan hari ini adalah pelantikan saya untuk yang terahir
kalinya sebagai Presiden, itu bisa dimaklumi karena dilihat dari segi rasio
manusia, memang pada usia saya yang sudah akan mencapai 67 tahun ini, pantas
saja pelantikan ini yang terahir untuk saya. Kalau sampai selesai saya
merampungkan tugas sebagai presiden masa bakti 1988-1992, berarti nanti
pada usia mendekati 72 tahun saya berhenti sebagai presiden”.
Tekad Soeharto untuk melanjutkan pemerintahan dan merampungkan semua
tugas negaranya, ternyata tidak diamini oleh masyarakat Indonesia. Karena
memasuki tahun 1990_an masyarakat Indonesia sudah mulai melakukan tuntutan
untuk menurunkan Soeharto sebagai presiden.
Usaha yang dilakukan oleh masyarakat dengan dipelopori oleh golongan
intelektual muda khususnya kalangan mahasiswa, untuk menurunkan Soeharto adalah
Reformasi dengan idiologi Demokrasi. Diusungnya Reformasi untuk menggalang
perubahan, merupakan jawaban terhadap segala bentuk penyelewengan Pancasila dan
UUD 45 yang dilakukan oleh rezim Orde Baru.
Apabila kita
mengkaji sungguh-sungguh masa sebelum masa Orde Baru tentu dengan sadar dan
penuh rasa syukur kita mengaminkan komitmen Orde Baru untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen (Taopan, 1992: 37). Karena Pancasila
sudah merupakan pandangan hidup yang berakar dalam keperibadian bangsa, maka ia
diterima sebagai dasar yang mengatur hidup ketatanegaraan (Taopan, 1992: 38). Akan tetapi kondisi selanjutnya menempatkan
komitmen tersebut sebagai sebuah landasan teoritis yang bertolak belakang
dengan ralita. Karena, penyelenggaraan pemerintahaan yang
dilandasi dengan idiologi Pancasila dan pelaksanaan UUD 45, dijadikan sebagai
instrumen politik kepentingan oleh
Orde Baru (Danusaputro, 1984: 166).
Berkembangnya politik kepentingan dengan menggunakan Pancasila dan UUD 45
sebagai bantu loncatan untuk menggapai eksistensi, menyebabkan hilangnya
esensial dari landasan negara. Bahkan lebih parah lagi hilangnya Hak Asasi
Manusia (HAM), sebagai masyarakat menjadi taruhan dalam perjalanan panjang
pemerintahan Orde Baru. Kondisi tersebut tak ayal memunculkan tuntutan terhadap
pemberlakuan Demokrasi.
“Sekarang kita punya stabilitas. Bahkan jika orang bilang
kita tidak punya demokrasi, itu tidak masalah karena kita punya stabilitas. Dan
yang paling penting dengan begitu terdapat perkembangan” (pernyataan Laksamana
Sudomo, 1983 dalam Jenkins, 2010: 319).
Kutipan pernyataan tersebut membrikan gambaran pada kita bagaimana pada
masa Orde Baru kondisi stabilitas yang dipaksakan, dipertegas sebagai sebuah
kondisi demokrasi.
Lanjut memasuki pembahasan tentang munculnya Reformasi dengan memanfaatkan
idiologi demokrasi sebagai sebuah tuntutan untuk menjatuhkan rezim Orde Baru,
dapat kita lihat melalui aksi-aksi protes turun kejalan, yang dilakukan oleh
para mahasiswa.
Sebenarnya pada
tahun 1967, protes terhadap Orde Baru sudah mulai muncul. Dipelopori oleh para
mahasiswa, aliansi-aliansi yang pada awalnya setia terhadap Orde Baru mulai
berdemonstrasi mengkritik pemerintahan, meminta harga diturunkan dan tindakan
korupsi dihentikan (Ricklefs, 2008: 606). Namun aksi
tersebut sempat vakum, dikarenakan adanya kooptasi yang dilakukan oleh
pemerintah.
Tuntutan akan Reformasi
terus meningkat seiring semakin memburuknya krisis ekonomi dan semakin jelas
bahwa rezim tidak mampu mereformasikan dirinya. Amien Rais dari Muhammadiyah
merupakan salah satu pengecam yang paling menonjol pada tahap ini. Demonstrasi
mahasiswa semakin marak. ABRI membiarkannya, selama aksi tersebut dilakukan
dalam kampus. Tapi, pada awal Mei 1998, mahasiswa sudah mulai turun ke
jalan-jalan di kota besar. Menanggapi aksi mahasiswa tersebut, ABRI melakukan
penembakan terhadap mahasiswa, yang di antaranya adalah mengakibatkan 4 orang
mahasiswa mati pada tanggal 12 Mei, di Universitas Trisakti (Ricklefs, 2008:
689).
Pembunuhan mahasiswa Trisakti merupakan titik balik karena kematian mereka
menggambarkan keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi Rezim, dan
kemustahilan akan adanya Reformasi. Soeharto yang pergi ke Kairo untuk
menghadiri konferensi puncak pada tanggal 7 Mei 1998, namun segera kembali
paada tanggal 15 Mei 1998. Seiring dengan Jakarta yang semakin kacau, bahkan
para anggota MPR, Golkar, dan ABRI siap mendukung diadakannya sidang istimewa
untuk memilih presiden baru. pada tanggal 20 Mei 1998 14 Menteri yang ditunjuk
Soeharto untuk membentuk kabinet menolak kabinet atau jabatan tersebut
sedangkan Soeharto mulai “Kebakaran Jenggot”. Tanggal 21 Mei 1998 pagi, awak
televisi dipanggil ke Istana negara untuk mengabadikan pengunduran diri
Soeharto sebagai Presiden. Wakil Presidennya, Habibie, segera disumpah segera
disumpah sebagai Presiden Indonesia ketiga Indonesia (1998-1999).
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Realitas sejarah
telah mencatat dan memberikan fakta pada generasi bangsa Indonesia, bahwa
bangsa ini pernah mengalami suatu pergolakan menuntut perubahan pemerintahan
dengan asas Domokrasi. Demokrasi (Demokratizatsiia)
yang diusung dengan gerakan reformis (Prestroika)
merupakan sebuah jawaban spontan terhadap segala permasalah bangsa dan negara pada masa pemerintahan
Orde Baru.
Tuntutan akan
Reformasi terus meningkat seiring semakin memburuknya krisis ekonomi dan
semakin jelas bahwa rezim tidak mampu mereformasikan dirinya. Pada awal Mei
1998, mahasiswa sudah mulai turun ke jalan-jalan di kota besar. Menanggapi aksi
mahasiswa tersebut, ABRI melakukan penembakan terhadap mahasiswa, yang di
antaranya adalah mengakibatkan 4 orang mahasiswa mati pada tanggal 12 Mei, di
Universitas Trisakti.
Pembunuhan mahasiswa Trisakti merupakan titik balik karena kematian
mereka menggambarkan keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi Rezim, dan
kemustahilan akan adanya Reformasi. Ahirnya, pada tanggal 21 Mei 1998 rezim
Soeharto berhsil dilengserkan, dan pada ahirnya Reformasi dengan idiologi
Demokrasi dapat ditegakkan.