BAHAN
RENUNGAN BAGI PENERUS REPUBLIK INI
SEMOGA
BERMANFAAT, MENAMBAH KEPEKAAN NASIONLISME
Ocy_Ckep
Ini Soal Tenun
Kebangsaan. Titik!!
Oleh; Anies Baswedan
Republik
ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi
mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara,
melindungi setiap anak bangsa!. Tak penting jumlahnya, tak
penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji
pertama Republik ini adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga
negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana
alam tapi karena diancam saudara sebangsa, maka Republik ini telah ingkar
janji.
Akhir-akhir
ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas oleh saudara sebahasa di
negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata
minoritas, mayoritas dimana-mana. Perlindungan minoritas dibahas amat luas. Bangsa
ini harus tegas, berhenti bicara minoritas dan mayoritas dalam urusan
kekerasan. Kekerasan ini terjadi bukan soal mayoritas lawan minoritas. Ini soal
sekelompok warga negara menyerang warga negara lain. Kelompok demi
kelompok warga negara secara kolektif menganiaya sesama anak bangsa. Mereka
merobek tenun kebangsaan!. Tenun Kebangsaan itu dirobek
dengan diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya
terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal.
Apa
sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan?, Tidak! Republik ini tidak
pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan,
parang bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan pikirannya. Mereka
bukan sekadar melanggar hukum tapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun
amat lama dan amat serius ini. Mereka bukan cuma kriminal, mereka perobek tenun
kebangsaan. Tenun Kebangsaan itu dirajut dengan amat berat dan penuh
keberanian. Para pendiri republik sadar bahwa bangsa di Nusantara ini amat
bhineka. Kebhinekaan bukan barang baru. Sejak negara ini belum lahir semua
sudah paham. Kebhinekaan di Nusantara adalah fakta, bukan masalah!
Tenun
kebangsaan ini dirajut dari kebhinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa,
geografis yang sangat unik. Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya
yang erat menghasilkan kekuatan. Perajutan tenun inipun belum
selesai. Ada proses yang terus menerus. Ada dialog dan tawar-menawar antar
unsur yang berjalan amat dinamis di tiap era. Setiap keseimbangan di suatu era
bisa berubah pada masa berikutnya.
Dalam
beberapa kekerasan belakangan ini, salah satu sumber masalah adalah kegagalan
membedakan "warga negara" dan "penganut sebuah agama". Perbedaan
aliran atau keyakinan tidak dimulai bulan lalu. Usia perbedaannya sudah ratusan-bahkan ribuan tahun
dan ada di seluruh dunia. Perbedaan ini masih berlangsung terus, dan belum ada
tanda akan selesai minggu depan. Jadi, di satu sisi, negara tidak
perlu berpretensi akan menyelesaikan perbedaan alirannya. Di sisi lain, aliran
atau keyakinan bisa saja berbeda tapi semua adalah warga negara republik yang
sama. Konsekuensinya, seluruh tindakan mereka dibatasi oleh aturan dan hukum
republik yang sama. Di sini negara bisa berperan. Negara memang tidak
bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Tetapi negara
sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi dialog antar pemikiran,
aliran atau keyakinan setajam apapun boleh, begitu berubah jadi kekerasan maka
pelakunya berhadapan dengan negara dan hukumnya. Negara jangan
mencampuradukkan friksi/konflik antar penganut aliran/keyakinan dengan
friksi/konflik antar warga senegara. Dalam menegakkan hukum, negara harus
selalu melihat semua pihak semata-mata sebagai warga negara dan hanya berpihak
pada aturan di republik ini.
Apalagi
aparat keamanan, ia harus hadir untuk melindungi “warga-negara” bukan
melindungi “pengikut” keyakinan/ajaran tertentu. Begitu pula jika ada
kekerasan, maka aparat hadir untuk menangkap “warga-negara” pelaku kekerasan,
bukan menangkap “pengikut” keyakinan yang melakukan kekerasan. Pencampuradukan
ini salah satu sumber masalah yg harus diurai secara jernih dan dingin. Menjaga
tenun kebangsaan dengan membangun semangat saling menghormati serta toleransi
itu baik dan perlu. Disini pendidikan berperan penting. Tetapi itu semua tak cukup,
dan takkan pernah cukup. Menjaga tenun kebangsaan itu juga
dengan menjerakan setiap perobeknya. Ada saja manusia yang datang untuk
merobek. Bangsa dan negara ini boleh pilih: menyerah atau “bertarung”
menghadapi para perobek itu. Jangan bangsa ini dan pengurus negaranya
mempermalukan diri sendiri di hadapan penulis sejarah, bahwa bangsa ini gagah
mempesona saat mendirikan negara bhineka tapi lunglai saat mempertahankan
negara bhineka. Membiarkan kekerasan adalah pesan
paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu boleh, wajar, dipahami, dan
dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular. Dan, pembiaran adalah resep paling
mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas. Pembiaran juga berbahaya karena tiap
robekan di tenun kebangsaan ini efeknya amat lama. Menyulam kembali tenun yang
robek, hampir pasti tidak bisa memulihkannya. Tenun yg robek selalu ada bekas,
selalu ada cacat.
Ada
seribu satu pelanggaraan hukum di republik ini, tapi gejala merebaknya
kekerasan dan perobekan tenun kebangsaan itu harus jadi prioritas utama untuk
dibereskan. Untuk mensejahterakan bangsa semua orang boleh “turun-tangan”, tapi
untuk menegakkan hukum hanya aparat yang boleh “turun-tangan”. Jadi saat
penegak hukum dibekali senjata itu tujuannya bukan untuk tampil gagah saat
upacara, tapi untuk dipakai saat melindungi warga negara, saat menegakkan
hukum. Negara harus berani dan menang "bertarung” melawan para perobek
itu. Bahkan saat tenun kebangsaan terancam itulah negara harus
membuktikan di Republik ini ada kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat tapi tidak ada kebebasan untuk melakukan kekerasan.
Aturan
hukumnya ada, aparat penegaknya komplit. Jadi begitu ada warga negara yang
pilih untuk melanggar dan meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun
kebangsaan, maka sikap negara hanya ada satu: ganjar mereka dengan hukuman yang
amat menjerakan. Bukan cuma tokoh-tokohnya saja yang dihukum. Setiap gelintir
orang yang terlibat harus dihukum tanpa pandang agama, etnis, atau partai. Itu
sebagai pesan pada semua, jangan pernah coba-coba merobek
tenun kebangsaan!. Ketegasan dalam menjerakan perobek tenun kebangsaan membuat
setiap orang sadar bahwa memilih kekerasan adalah sama dengan memilih untuk
diganjar dengan hukuman yang menjerakan. Ada kepastian konsekuensi.
Ingat,
Republik ini didirikan oleh para pemberani, berani dirikan Negara yang bhineka.
Kita bangga dengan mereka. Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian
untuk menjaga dan merawat kebhinekaan itu tanpa syarat? Biarkan kita semua dan
kelak anak cucu kita bangga bahwa Republik ini tetap dirawat oleh para
pemberani.
----------------------------
Tulisan
dimuat di Harian Kompas, 11 September 2012 Halaman 6 dalam Rubrik Opini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar