BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sejarah adalah pertanggungjawaban masa silam yang memiliki unsur tertinggi dalam pejalanan
hidup manusia. Oleh karena itu manusialah yang menentukan
arti masa silam itu. Sejarah dalam pengertian sebagai rekonstruksi masa lampau,
dalam perkembangannya senantiasa dihadapkan dengan berbagai permasalahan dan
perdebatan tentang bagaimana sebaiknya menggunakan cara-cara untuk
merekonstruksi masa lampau itu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan
"kebenarannya". Sejak zaman Herodutus hingga sekarang ini penulisan
sejarah kritis selalu di "rethinking" untuk menyempurnakan
peralatan metodologis dan analitisnya. Perkembangan akhir-akhir ini telah
muncul suatu gagasan pemikiran dalam penulisan sejarah yang menggunakan
pendekatan multidimensional, yaitu suatu pendekatan dengan menggunakan
bantuan konsep-konsep dan teori-teori dari berbagai cabang ilmu sosial untuk
menganalisis peristiwa masa lampau. Di Indonesia, penggunaan metode pendekatan
multidimensional ini dipelopori oleh Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, yang telah
merealisasikan gagasan ini dalam disertasinya yang berjudul The Peasant
Revolt of Banten in 1888.
Memang diakui, bahwa selama ini
banyak tulisan sejarah yang bersifat deskriptif naratif terutama yang
dihasilkan oleh penulis yang bukan ahli sejarah. Jenis sejarah ini ditulis
tanpa memakai teori dan metodologi. Padahal, masalah teori dan metodologi
sebagai bagian pokok ilmu sejarah mulai diketengahkan apabila penulisan sejarah
tidak semata-mata bertujuan untuk menceritakan kejadian, tetapi bermaksud
menerangkan kejadian itu dengan mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkungannya,
kontkes sosial-kulturalnya, pendeknya secara mendalam hendak diadakan analisis
tentang faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual tentang unsur-unsur yang
merupakan komponen dan eksponen dari proses sejarah yang dikaji (Kartodirdjo,
1988: 2).
Itulah sebabnya dalam melakukan
pengkajian dan analisis dibutuhkan peralatan analitis yang dapat
dioperasionalkan fungsinya, sehingga relevan dengan permasalahan yang sedang
dianalisis. Langkah penting dalam membuat analisis sejarah ialah dengan
menyediakan suatu kerangka pemikiran
atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan digunakan dalam membuat analisis itu.
Sementara itu, dalam penulisan
sejarah dengan pendekatan multidimensional, disiplin sejarah merupakan disiplin
pokok. Meskipun demikian, tidaklah menghalangi dipergunakannya konsep-konsep
dan metode-metode ilmu-ilmu bantu guna memperkaya dan memperdalam kisah sejarah.
Ibarat seorang pemahat, bila ia membuat patung besar mempergunakan pahatan
besar, tetapi bila patung itu kecil dan rumit, maka ia membutuhkan
pahatan-pahatan yang kecil dan renik pula (Kartodirdjo, 1982: vii). Jadi, alat
haruslah sesuai dengan produk yang hendak dihasilkan.
Pendekatan dalam memahami suatu
peristiwa sejarah, dapat dilakukan melalui berbagai jalur metodologis atau
perspektif teoritis dan yang terpenting adalah jalan atau perspektif ekonomis,
sosiologis, politikologis, dan kultural-antropologis. Untuk tujuan-tujuan
analitis sejumlah aspek dari fenomena-fenomena yang kompleks itu dapat
diisolasikan, akan tetapi hal itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga
tidak menyebabkan distorsi pada konteks yang bersangkutan. Kita dapat
mengandaikan bahwa pertemuan beberapa faktor telah menyebabkan terjadinya
peristiwa sejarah. Sebelum mencapai titik pertemuan itu, faktor-faktor itu
masing-masing mengalami perkembangannya sendiri. Berdasarkan pertimbangan
teoritis ini, kita bisa membahas secara terpisah aspek-aspek itu sebagai
faktor-faktor kondisional dari peristiwa sejarah (Kartodirdjo, 1984: 24).
Dengan demikian jelaslah bahwa ada
hubungan yang erat antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, terutama
terwujud pada perubahan metodologi. Perubahan metodologi itu menyangkut hubungan/keterkaitan. Implikasinya
adalah, bahwa setiap riset memerlukan kerangka referensi yang bulat, yaitu
memuat alat-alat analitis yang akan meningkatkan kemampuan untuk menggarap
data.
Hubungan keterkaitan antara sejarah dengan
ilmu-ilmu sosial terutama menyangkut penggunaan konsep-konsep dan
teori-teorinya. Mengapa demikian? Oleh karena sejarah bersifat empiris, maka
sangat primer pentingnya untuk berpangkal pada fakta-fakta tersaring dari
sumber sejarah, sedangkan teori dan konsep hanya merupakan alat untuk
mempermudah analisis dan sintesis. Di samping itu dalam menggarap analisis
sejarah, hipotesis dan teori sangat membantu cara kerja kita supaya tidak
acak-acakan. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa fakta-fakta sejarah tidak
boleh untuk mendukung suatu teori tetapi sebaliknya, teori yang tidak dapat
menerangkan fakta-fakta perlu ditinggalkan. Dengan demikian, seperti apa yang
dikatakan oleh Crane Brinton sangat mendukung gagasan ini, yaitu:
"the conviction that historians should try to
interpret or understand history so as to make written history 'at least a
commulative body of knowledge useful as a guide in solving our present problems
of human relations (Brinton, 1946: 342).
Memang harus diakui bahwa pertumbuhan ilmu-ilmu sosial pada
abad ke-19 dan awal abad ke-20 sungguh luar biasa dan telah memberikan
horison-horison baru, sehingga bagi ilmu sejarah terbuka
kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan adaptasi terhadap kedudukannya,
khususnya pada posisi metodologisnya, dengan mengarahkan diri terhadap
ilmu-ilmu sosial. Kemudian, apa yang melatarbelakangi penyesuaian ilmu sejarah
terhadap ilmu-ilmu sosial itu? Paling tidak ada tiga alasan yang mendasarinya,
yaitu: 1) Perluasan problem areas serta tema-tema baru menuntut agar
sejarah lebih bersifat analitis dan tidak naratif semata-mata; 2) Dengan adanya
kemungkinan meminjam alat-alat analitis atau kerangka konseptual dari ilmu-ilmu
sosial ada potensi lebih besar bagi sejarah untuk mengungkapkan berbagai
dimensi gejala-gejala sejarah; 3) Sebagai umpan balik dari perkembangan itu,
terciptalah jenis-jenis sejarah baru yang lebih banyak memakai pendekatan sosial-scientific,
yaitu suatu jenis sejarah yang berbeda secara mendasar dari sejarah naratif
(Kartodirdjo, 1990: 255). Di sinilah ilmu sejarah telah mengalami revolusi
kedua untuk meningkatkan relevansinya dalam menggarap objek penelitiannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang terpaparkan di atas, maka
guna memperoleh penjelasan mengenai hubungan sejarah dengan ilmu-ilmu sosial,
pemakalah mencoba mengambil beberapa rumusan masalah, di antaranya adalah:
1.2.1
Bagaimanakah hubungan antara
sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya?
1.2.2
Apa pentingnya pendekatan
ilmu-ilmu sosial bagi ilmu sejarah?
1.2.3
Apa relevansinya bagi ilmu sejarah
yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial?
1.3 Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang akan menjadi patokan
penjelasan dalam makalah ini, maka pemakalah mempunyai gambaran umum mengenai
tujuan penulisan makalah ini, di antaranya adalah:
1.3.1
Untuk mengetahui secara umum
mengenai hubungan antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya.
1.3.2
Agar dapat memahami betapa
pentingnya pendekatan ilmu-ilmu sosial bagi ilmu sejarah.
1.3.3
Untuk mengetahui relevansi
penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam ilmu sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Hubungan Antara Sejarah dengan Ilmu-ilmu Sosial
Untuk memahami masalah sejarah dalam hubungannya dengan
ilmu-ilmu sosial, perlu kiranya lebih dahulu dikemukakan mengenai apa yang
dimaksud dengan ilmu-ilmu sosial itu, dan apa yang menjadi sasarannya, tujuan,
serta hubungannya antara satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu
sosial di sini adalah semua ilmu pengetahuan atau disiplin-disiplin akademis
yang memiliki sasaran studinya pada manusia dalam hubungan sosialnya. Karena
masalah manusia dalam kehidupan masyarakat mencakup pengertian yang luas maka
untuk dapat mempelajari dan memahami secara mendalam diperlukan suatu pembagian
lapangan perhatian yang secara khusus memusatkan pada salah satu segi dari
tingkah laku manusia dalam pergaulannya yang dikelola dalam kesatuan-kesatuan
lapangan studi (Suryo, 1980: 1). Nama-nama lapangan studi kemudian diberikan
menurut jenis tingkah laku dari segi-segi kehidupan masyarakat yang menjadi
pusat pengamatannya. Adapun nama-nama disiplin yang termasuk dalam kelompok
ilmu sosial adalah ilmu ekonomi, sosiologi, anthropologi sosial, ilmu politik,
psikologi sosial, dan sejarah. Tiap-tiap disiplin ini memiliki sejarahnya
sendiri, pengamatan, permasalahan, sumber-sumber bahan dan sering juga memiliki
teknik/metode penelitian sendiri-sendiri (Suryo, Ibid).
Bahwasanya ilmu sejarah termasuk dalam lingkungan ilmu
sosial, memerlukan sedikit penjelasan. Pertama perlu diketahui bahwa sejarah
dikualifikasikan sebagai "ilmu" baru pada masa abad ke-19. Bila pada
abad ke-18 sejarah dianggap arts, maka pada abad ke-19 sejarah dianggap
lebih bersifat sebagai suatu sistem. Dalam bentuknya sebagai arts
sejarah hanyalah merupakan bentuk pemikiran manusia yang disampaikan dalam
bentuk narration yang secara literer melukiskan persitiwa masa lampau,
dan bersifat mempersoalkan masalah; apa, kapan, di mana, dan bagaimana suatu
peristiwa itu terjadi. Tekanan lebih banyak diarahkan pada segi-segi
literernya, hal-hal yang unik, dan tidak menggunakan analisis. Maka dari itu
dalam studi sejarah yang konvensional ini tidak mendapat persoalan kausalitas
sebagai pusat penggarapannya, oleh karena itu tidak terdapat pertanyaan
"mengapa". Selain tidak mempersoalkan masalah "mengapa",
sejarah konvensional tidak memiliki kerangka konseptual dalam menggarap
sasarannya.
Dalam keadaan yang sedemikian itu sejarah kurang mempunyai
arti karena tidak dapat memberikan penjelasan mengenai masalah yang terjadi
dalam kehidupan manusia. Berbeda dengan sejarah yang bersifat literer, maka
sejarah sebagai sistem, menghendaki adanya sistematisasi dalam penggarapan
sasaran studinya. Dalam hal ini sejarah memiliki kerangka kerja konseptual yang
jelas dan memiliki peralatan metodologis dalam menganalisis sasaran yang
dipelajarinya. Dengan menggunakan prosedur kerja metodologis seperti ini maka
sejarah mampu mengungkapkan kausalitas secara tajam sehingga dapat memperoleh
gambaran yang jelas dari suatu peristiwa.
Dilihat dari sasaran objeknya, maka studi sejarah dengan
studi ilmu sosial lainnya tidaklah banyak berbeda. Mengenai masalah deskripsi
dan analisis, bagi sejarah ataupun sosiologi dan juga ilmu-ilmu lain, dikotomi
itu adalah membantu. Analisis menghendaki suatu deskripsi, demikian pula
deskripsi yang memadai adalah deskripsi yang rumit, yang tergantung pada
cukupnya sebab-sebab yang ada di dalamnya (Kartodirdjo, 1970: 61-68). Dalam kecenderuangannya
sekarang antara keduanya dalam mencari sebab-sebab, sama-sama punya arti.
Sejarah mempelajari yang unik, sedangkan sosiologi mempelajari yang umum. Tanpa
perhubungan antara keduanya, maka tidak akan diperoleh eksplanasi. Perlu
dicatat, bahwa sekalipun sosiologi lebih mementingkan generalisasi, tetapi
dalam penggarapannya memerlukan pula segi-segi keunikan secara historis.
Sebaliknya dalam sejarah, sekalipun sasarannya lebih diarahkan pada keunikan,
tetapi juga tidak berarti mengabaikan sifat-sifat yang umum. Sebagai contoh
dalam sejarah diperlukan juga konsep-konsep umum untuk mengkonseptualisasikan
gejala sejarah, seperti tercermin dalam penggunaan konsep feodalisme, borjuasi,
kapitalisme, dan lain-lain (Suryo, Ibid: 5).
Kemudian, bagaimana hubungan timbal balik antara sejarah
dengan ilmu-ilmu sosial lainnya? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Hubungan antara sejarah dengan
sosiologi, tercermin dalam ungkapan yang berbunyi
"Sejarah adalah sosiologi dengan pekerjaan berat, Sosiologi adalah sejarah
tanpa pekerjaan berat". Dalam perkembangan kedua disiplin saling
berhubungan erat, sehingga timbul jenis-jenis pendekatan interdisipliner antara
keduanya. Sebagai contoh dapat ditunjukkan tentang karya-karya yang sifatnya
sosiologis dalam konsep-konsepnya dan historis dalam penggarapannya. Misalnya;
Penulis yang menggunakan pendekatan sosiologis bahan-bahan sejarah (sociological
history) antara lain: Caulanges, Giots, Pirenne, Maunier, Maitland,
Stephenson, Marc Bloch. Tema yang diambil oleh penulis ini antara lain
memusatkan pada lahir dan berkembangnya masyarakat tertentu, terutama yang
berhubungan dengan masalah demografi, ekonomi, dan perpindahan penduduk.
Kesemuanya memusatkan sejarah Eropa pada periode klasik atau pertengahan. Ada
pula yang memusatkan pada masalah case-study tentang daerah kebudayaan.
Contohnya; Howard Beeker, Jacob Burchard, Max Weber, Toynbee, dan lain-lain.
2.
Hubungan antara sejarah dengan
ilmu politik, secara konvensional sejarah politik
dalam hal ini banyak menampilkan segi politik secara menonjol. Dalam
hubungannya dengan kedua disiplin ini melahirkan apa yang disebut pendekatan
ilmu politik, dan pendekatan institusional, pendekatan legalistis, pendekatan
kekuasaan, pendekatan nilai dan pengaruh, pendekatan kelompok, dan sebagainya.
3.
Hubungan antara sejarah dan
anthropologi, juga erat terutama bagi sejarah karena
mendapat manfaat dengan pendekatan kulturalnya. Anthropologi lazim mengkaji
suatu komunitas dengan pendekatan sinkronis, yaitu seperti membuat suatu
pemotretan pada momentum tertentu mengenai berbagai bidang atas aspek kehidupan
komunitas, sebagai bagian dari satu kesatuan atau sistem serta hubungan satu
sama lain sebagai subsistem dalam suatu sistem. Rasanya gambaran sinkronis ini
tidak memperlihatkan pertumbuhan atau perubahan. Justru dalam studi
anthropologi diperlukan pula penjelasan tentang struktur-struktur sosial yang
berupa lembaga-lembaga, pranata, sistem-sistem, kesemuanya akan dapat
diterangkan secara lebih jelas apabila diungkapkan pula bahwa struktur itu
adalah produk dari perkembangan di masa lampau. Hal ini akan dapat dijelaskan
eksistensinya dengan melacak perkembangan sejarahnya (Kartodirdjo, 1988: 165).
4.
Hubungan antara sejarah dengan
ekonomi, sepanjang sejarah modern telah muncul
kekuatan-kekuatan ekonomi pasar internasional maupun nasional. Dengan demikan,
juga menyangkut soal metodologis untuk memahami perkembangan itu. Hubungan
antara keduanya memungkinkan sejarah memperoleh hipotesa-hipotesa dan
model-model yang berhubungan dengan tindakan sosial dalam hubungannya dengan
alokasi sumber kehidupan dan pemilihan alternatifnya (Suryo, Ibid: 7).
2.2 Pentingnya Pendekatan
Ilmu-ilmu Sosial bagi Ilmu Sejarah
Dalam perkembangan studi sejarah kritis sejak akhir Perang
Dunia II menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ilmu
sosial. Hubungan keterkaitan yang memunculkan rapproachment atau proses
saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain:
1.
Sejarah deskriptif-naratif sudah
tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan berbagai masalah atau gejala yang serba
kompleks. Oleh karena objek yang demikian memuat berbagai aspek atau dimensi
permasalahan, maka konsekuensi logis ialah pendekatan yang mampu
mengungkapkannya.
2.
Pendekatan multidimensional atau sosial-scientific
adalah yang paling tepat untuk dipakai sebagai cara menggarap permasalahan atau
gejala tersebut di atas.
3.
Ilmu-ilmu sosial telah mengalami
perkembangan pesat, maka menyediakan berbagai teori dan konsep yang merupakan
alat analitis yang relevan sekali untuk keperluan analisis historis.
4.
Lagi pula studi sejarah tidak
terbatas pada pengkajian hal-hal informatif tentang apa, siapa, kapan, di mana,
dan bagaimana saja, tetapi juga ingin melacak berbagai struktur masyarakat,
pola kelakuan, kecenderungan proses dalam berbagai bidang, dan lain-lain.
Kesemuanya itu memerlukan dan menuntut adanya alat analitis yang tajam dan
mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola, dan sebagainya (Kartodirdjo,
1988: 130).
Perlu
diakui bahwa dalam periode tersebut di atas ilmu sejarah menerima pengaruh
besar dari kemajuan pesat ilmu sosial, antara lain perspektivisme yang
menonjol, sehingga terasa perlu mengadakan perubahan metodologis yang lebih
canggih serta lebih produktif.
Peminjaman alat-alat analitis dari
ilmu-ilmu sosial adalah wajar, oleh karena sejarah konvensional miskin akan hal
itu, antara lain disebabkan oleh tidak adanya kebutuhan menciptakan teori dan
istilah-istilah khusus serta memakai bahasa kehidupan sehari-hari dan common
sense.
Rapproachment antara ilmu
sejarah dengan ilmu-ilmu sosial sudah barang tentu akan mengarah pada integrasi
antara pengkajian sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, sekaligus juga mendorong
terjadinya pengkajian sejarah yang interdisipliner (F.R. Ankersmit, 1987:
246-247). Apabila point-point di atas membicarakan sebab-sebab perlunya
melakukan rapproachment, maka perlu pula dilihat keterkaitannya secara teoritis
antara lain:
1.
Dengan bantuan teori-teori ilmu
sosial yang menunjukkan hubungan antara berbagai faktor (misalnya inflasi,
pendapatan nasional, pengangguran, dan sebagainya), pernyataan-pernyataan
mengenai masa silam dapat dirinci, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
2.
Suatu teori sosial ilmiah,
mengadakan hubungan antara berbagai variabel. Ini dapat mendorong seorang
sejarawan meneliti sebuah aspek dari masa silam yang serasi dengan
variabel tertentu. Dengan demikian, dan dengan bantuan teori dari ilmu sosial
lain, seorang sejarawan lalu dapat melacak hubungan antara aspek tadi dengan
aspek-aspek lainnya. Misalnya, sebuah teori mengenai hubungan antara
penghematan dengan investasi, dapat mendorong sejarawan untuk meneliti
penghematan di Inggris pada abad ke-18, dan dengan demikian dapat menambah dimensi baru kepada diskusi
mengenai latar belakang Revolusi Industri di Inggris. Pengkajian sejarah yang
dilakukan secara interdisipliner, merangsang penelitian sejarah sendiri dan
membuka jalan untuk memberi jawaban baru kepada pertanyaan-pertanyaan lama.
3.
Akibat yang dapat diharapkan ialah
kaitan yang diadakan oleh suatu teori sosial, serta permasalahan yang
ditimbulkan oleh teori itu, juga akan memberi tempat baru kepada permasalahan
tersebut dalam tinjauan sejarah. Teori-teori sosial dapat membantu seorang
sejarawan, agar dapat menyusun pengetahuannya mengenai masa silam dalam
struktur yang paling memadai.
4.
Teori-teori dalam ilmu sosial,
biasanya berkaitan dengan struktur umum dan supraindividual di dalam kenyataan
sosio-historis. Oleh karena itu, teori-teori tersebut dapat menganalisis
perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan luas. Suatu pendekatan
sosio-historis dapat membantu kita, bila kita ingin mengerti
perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan ribuan orang yang tak bernama.
Dalam pengkajian sejarah, memang kelihatan suatu perhatian untuk suka duka
orang-orang kecil pada masa silam. Hal ini sesuai dengan apa yang ingin
ditampilkan oleh Prof. Sartono Kartodirdjo, bahwa perspektif historis dengan
pendekatan ilmu-ilmu sosial akan memberi tempat bagi rakyat kecil yang selama
ini dianggap tidak memainkan peran dalam sejarah. Dengan kata lain rakyat kecil
menjadi objek atau dramatis personae.
5.
Bila teori-teori yang dipakai
dalam ilmu-ilmu sosial memang dapat diandalkan dan dipercaya, maka dengan
mempergunakan teori-teori itu, pengkajian sejarah dapat melepaskan diri dari cap
subjektivitas yang sering dituduhkan kepada sejarawan. Penelitian sejarah
yang ditopang oleh teori-teori yang dapat diandalkan, ternyata lebih dapat
dipertanggungjawabkan objetivitas keilmuan sejarah itu sendiri.
Orientasi pengkajian sejarah kepada ilmu-ilmu sosial selama
dua atau tiga dasawarsa terakhir ini, didukung oleh para sejarawan dan filsuf
sejarah. Demikian D. Landes dan Ch. Tilly menandaskan, bahwa banyak masalah
sejarah, baru dapat dipecahkan dengan bantuan sosiologi dan demografi. Cara
kerja tradisional seorang peneliti sejarah tidak memadai, oleh karena itu harus
minta bantuan dari teori-teori ilmu sosial yang membuka jalan untuk menerangkan
dan melukiskan masa silam dengan cara yang lebih teliti. Selain itu, sejarawan
dapat menyediakan bahan, guna memerinci dan memperbaiki teori-teori itu.
Namun demikian, seorang sejarawan terutama harus bertindak dengan lebih
sistematis, kuantifikasi harus menggantikan intuisi yang samar-samar. Tidak
cukup mengatakan, bahwa pada tahun 1789, rakyat Perancis lebih makmur daripada
seputar tahun 1750. Dengan tepat harus ditetapkan, berapa jumlah penghasilan
nasionalnya atau pendapatan per kapitanya, baik pada tahun 1789 maupun tahun
1750. Pada tahun 1972, seorang sejarawan Amerika L. Benson, mengungkapkan
harapannya, bahwa pada tahun 1984, semua sejarawan menjadi yakin, bahwa masa
silam dapat diteliti dengan penuh arti, bila diminta bantuan dari ilmu-ilmu
sosial.
Konsep-konsep dan teori-teori ilmu-ilmu sosial itu diakui
sangat perlu. Meskipun demikian, tidak satu pun di antaranya memberikan jalan
keluar yang siap pakai begitu saja diambil tanpa pengujian yang hati-hati,
pengadaan eksperimen, dan adaptasi. Para sejarawan sendiri harus mencari data
dan metode ilmu sosial yang dapat memperluas lingkup dan makna penelitian
mereka. Mereka harus menentukan sendiri apa yang harus diubahsesuaikan, dan apa
yang harus dipadukan dalam kombinasi-kombinasi baru secara bebas, untuk dapat
memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh mereka sendiri (Ibrahim Alfian,
1985: 14).
2.3
Relevansi Metodologi Sejarah dengan Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial
Masalah ini merupakan masalah pokok dalam pembahasan
pentingnya hubungan antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial dalam masalah
pendekatan dan kerangka konseptual. Untuk menjelaskan relevansi metodologi
sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, kita perlu bertolak dari konsep sejarah
sebagai sistem (Kartodirdjo, 1988: 131). Hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
2.3.1 Sejarah sebagai
suatu sistem
Suatu sistem terdiri atas unsur-unsur atau aspek-aspek yang
merupakan suatu kesatuan. Bahwasannya suatu sistem itu bekerja dengan cara yang
bagaimana, maka perlu dianalisis dengan ilmu-ilmu sosial. Dalam suatu sistem
yang besar terdapat empat komponen yaitu kultur, biologi, ekologi, dan personality
(pribadi) yang dengan fungsinya bersama-sama mendukung fungsi umum dari sistem
yang besar itu. Di sini diperlukan pendekatan interdisipliner untuk
menganalisis terjalinya fungsi berbagai komponen itu (ilmu kemanusiaan,
Biologi, Ekologi, dan Psikologi). Biologi dan Ekologi sendiri memerlukan
pembagian lebih lanjut atau berbagai disiplin. Pada subsistem kultur, terdapat
tiga unsur yang mendukungnya, yaitu ekonomi, sosial, dan politik, yang
kesemuanya merangkum dalam satu subsistem yaitu kultur itu sendiri.
Ekonomi sebagai sistem jaringan atau distribusi komoditi
sangat ditentukan oleh sistem sosial, seperti stratifikasi sosialnya. Society
sebagai sistem jaringan atau distribusi hubungan sosial yang sebagai sistem
sangat ditentukan oleh polity, ialah sistem distribusi kekuasaan. Dengan
demikian jelaslah terdapat hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi antara
ketiga unsur tersebut. Ketiga komponen itu pada hakekatnya sangat ditentukan
oleh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, maka ketiganya dapat dicakup
dalam kultur sebagai sistem. Jika kita menghadapi proses politik sebagai gejala
sejarah maka untuk mengetahui proses itu, bagaimana pekerjaannya, perlu dilacak
struktur kekuasaan yang ada di “belakangnya” sedangkan struktur politik dengan
sendirinya kembali pada polity, yang seperti dijelaskan di atas
mempunyai dimensi sosial, ekonomi, dan kultural. Tidak dapat diingkari bahwa
tanpa bantuan kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial, gejala politik
tersebut di atas sukar dianalisis dan dipahami jalan prosesnya. Di sini kita
tidak langsung berurusan dengan kausalitas tetapi lebih banyak dengan
kondisi-kondisi dalam berbagai dimensinya.
Selanjutnya gejala ekonomis dan sosial perlu ditelaah juga
dari aspek politik dan kulturalnya. Kombinasi antara berbagai perspektif akan
mampu mengekstrapolasikan interdependency antara berbagai aspek atau
unsur. Dengan demikian gambaran gejala akan memperoleh lebih banyak relief. Di
sini terdapat keuntungan pendekatan ilmu sosial, ialah menyoroti secara multi
perspektivitas atau multidimensionalitas. Sebaliknya bentuk naratif hanya mampu
memberi gambaran “datar” sehingga mudah terjebak dalam determinisme.
Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial lain bersama dengan
metode-metodenya dapat dikerahkan untuk menunjang terwujudnya keterangan
sejarah, supaya relief kenyataan sejarah lebih penuh menampakkan diri. Namun
demikian, ilmu-ilmu tadi perlu dibatasi pada jabatannya sebagai penunjang ilmu
sejarah dalam usahanya menerangkan masa lampau tersebut (Poespoprodjo, 1987:
62). Sebagai contoh misalnya Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani
Banten Tahun 1888, menyatakan: “Dalam menganalisis konflik-konflik sosial dalam
masyarakat Banten, kita harus memperhatikan sistem-sistem nilai tradisional dan
keagamaan, sebagai suatu kekuatan konservatif yang menentang westernisasi.
Usaha untuk mengadakan korelasi antara kecenderungan-kecenderungan sosial dan
peristiwa-peristiwa politik di satu pihak dan pola-pola kultural di pihak lain
melibatkan suatu pendekatan sosio-antropologis (Kartodirdjo, 1984: 26).
Sementara untuk memperoleh pemahaman yang lengkap mengenai
determinan-determinan gerakan sosial, kita perlu memperhitungkan proses politik
sebagai suatu konsep yang mengacu kepada interaksi antara berbagai unsur sosial
yang bersaing untuk memperoleh alokasi otoritas. Analisis semacam ini perlu
menggunakan konsep-konsep ilmu politik.
2.3.2 Kecenderungan Penulisan Sejarah Struktural
Kecenderungan penulisan sejarah struktural tidak bisa
dilepaskan dengan pemahaman masalah masyarakat yang terikat pada
struktur-struktur tertentu, sehingga perlu penjelasan yang lebih komprehensif
tentang struktur itu sendiri. Sudah barang tentu penjelasan tentang struktur
juga tidak bisa dilepaskan dengan sejarah prosessual. Ini berarti unsur
struktur dan proses merupakan pijakan perspektif historis bilamana kita akan
membahas peristiwa masa lampau secara kritis dan analitis.
Dengan perlengkapan metodologi baru, seperti penggunaan pendekatan
ilmu sosial, studi sejarah kritis memperluas daerah pengkajiannya, sehingga
terbukalah kemungkinan melakukan penyerotan aspek atau dimensi baru dari berbagai
gejala sejarah. Kalau pada umumnya segi prosessual yang menjadi fokus perhatian
sejarawan dengan pendekatan ilmu sosial dapatlah digarap aspek strukturalnya.
Selanjutnya dipahami bahwa banyak aspek prosessual yang hanya dapat dimengerti
apabila dikaitkan dengan aspek strukturalnya, bahkan dapat dikatakan pula bahwa
proses hanya dapat "berjalan" dalam kerangka struktural (Kartodirdjo,
1988: 134). Selanjutnya Sartono Kartodirdjo memberikan contoh, bahwa tindakan
manusia dalam pergaulan senantiasa mengikuti kebiasaan, adat atau pola
kehidupan yang berlaku dalam masyarakat itu. Pola atau kebiasaan yang mantap
menimbulkan suatu kelembagaan, seperti adat-istiadat, etika, etiket, upacara,
dan sebagainya. Dengan demikian kelakuan manusia dalam masyarakat selalu
distrukturasikan sesuai dengan tradisi atau konvensi. Di sini struktur kelakuan
yang mantap melatarbelakangi tindakan atau kelakuan tertentu seseorang. Apabila
tidak ada struktur yang melandasinya, maka tindakan itu sukar
"diramalkan" atau "ditafsirkan" oleh sesamanya, jadi timbul
kekalutan sosial, suatu keadaan yang tidak mungkin kehidupan bersama secara
teratur dan beradab. Meskipun demikian, bagaimanapun menariknya sejarah
struktural, akan tetapi sejarah bukanlah sejarah apabila tidak memuat cerita
tentang bagaimana terjadinya. Oleh karena itu seyogyanya campuran antara
sejarah prosessual dan struktural yang paling memadai. Committee SSRC
menjelaskan;
"The fundamental problem of historical study is
the analysis of change over time. Some sosial science have found it possible,
in general, to push the problem of time into the background (SSRC, 1954:
24).
Sejarah struktural dapat diibaratkan kerangka tanpa daging,
jadi tanpa kehidupan. Sebaliknya sejarah prosessual tanpa struktur tidak
mempunyai bentuk. Kehidupan hanya dapat dimasukkan dalam konstruk apabila ada
naratif yang mempunyai rethorik yang menggairahkan.
Suatu analisis struktural dari riset sosiologi sangat
penting untuk digunakan dalam mengkaji struktur masyarakat masa lampau. Contoh
populer tentang hal ini adalah studi Floyd Hunter mengenai struktur kekuasaan
masyarakat Atlanta, Georgia. Tesis dasar yang dicoba untuk didokumentasikan
ialah bahwa sebagian besar kekuasaan yang efektif dalam masyarakat itu terpusat
pada individu yang jumlahnya sangat kecil. Secara lebih khusus ia membuat
hipotesis bahwa di belakang pemerintah yang terpilih secara resmi di Atlanta,
berdiri pula beberapa elit tidak resmi yang sangat berkuasa yang merupakan
orang-orang yang sebenarnya "membawa" masyarakatnya. Dengan menguasai
sumber-sumber vital, bisnis, dan industri besar, fasilitas komunikasi, perbankan
dan aktivitas keuangan lainnya, serta mengatur partai-partai politik, dan
diduga dapat mendominasi semua keputusan dan program utama. Sebagai akibat yang
wajar dari tesis ini bahwa tidak seorang pun di luar struktur kekuasaan yang
sangat terpusat, benar-benar mempunyai kontrol terhadap kepentingan masyarakat
(Olsen, 1968: 212). Konsep sosiologi ini sangat penting dalam analisis sejarah
yang ingin mengetahui struktur kekuasaan dalam perkembangannya di negara
Atlanta.
Dalam masalah struktur ini, sejarawan yang ingin membuat
bagian analisis ilmu pengetahuan bagi kepentingan pemikirannya, tidak hanya
digunakan untuk kepentingan sejarah saja, tetapi juga untuk kepentingan
analisis studi lainnya. Namun demikian, sejarah sangat penting untuk
menggunakan konsep dari ilmu pengetahuan ini. SSCR, misalnya mengatakan bahwa:
"There are two other ways of viewing and
interpreting the subject matter of history. One is terms of the structure of
the situation in which events take place ..." (SSCR, 95).
Demikian halnya dengan masalah proses, James Thomson dan
William Mc.Ewen mengajukan argumentasi bahwa tujuan organisasi tidaklah statis,
tetapi agak berubah-ubah oleh adanya interaksi di dalam organisasi itu sendiri,
dan antara organisasi dengan lingkungannya. Menurut mereka penempatan
organisasi harus dilihat sebagai suatu proses yang terus menerus yang selalu
sensitif menerima tekanan-tekanan sosial (Olsen, 1968: 217). Dari contoh ini
maka dapat disimpulkan bahwa peranan proses tidak bisa diabaikan dalam melihat
suatu perkembangan. Sementara sejarah itu sendiri mempunyai titik tekan
analisis pada perkembangan atau proses.
Apabila kita bertolak dari pendapat bahwa setiap proses
sejarah adalah momentum-momentum dari perubahan sosial. Di satu pihak kejadian
sejarah atau peristiwa merupakan proses, dan di pihak lain dapat dipandang
sebagai aktualisasi dari suatu struktur. Dengan perkataan lain setiap struktur
merupakan aspek statis dari suatu proses, dan sebaliknya setiap proses
merupakan aspek dinamis dari suatu struktur. Hal itu dapat dijelaskan sebagai
berikut: Tindakan atau kelakuan manusia pada saat tertentu selalu mengikuti
pola tertentu sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam
masyarakatnya., dengan perkataan lain menurut pranata sosialnya. Ini berarti
bahwa kelakuan atau aksi itu telah dibentuk atau distrukturasikan. Pada umumnya
struktur sendiri berubah karena adanya pengaruh dari lingkungan, seperti
dicontohkan misalnya adanya disorganisasi dan disintegrasi pola peranan. Namun
demikian suatu destrukturasi akan diikuti oleh restrukturasi. Justru di sini
dapat diobservasi proses-proses yang mulai membentuk dan memantapkan pola
kelakuan baru sehingga akhirnya muncul struktur baru (Kartodirdjo, 1988: 124).
Antropolog Radcliffe Brown dalam bukunya Structure and
Function in Primitive Society menjelaskan tentang fenomena sosial yang
ditekankan pada hubungan antara kelompok dan individu sebagai organisme, yang
disebut dengan istilah "struktur sosial". Menurut Brown, inilah yang
merupakan studinya sebagai seorang antropolog sosial. Di sinilah letak
antropologi sosial sebagai ilmu alam, yang menentukan ciri-ciri umum struktur
sosial masyarakat sebagai kesatuan komponen. Dimensi struktur sosial menurut
Brown ialah: 1) Hubungan diadik, yaitu hubungan sosial dari individu
pada individu yang lain; 2) hubungan deferensial, yaitu hubungan sosial
mereka dengan individu atau kelompok yang berbeda-beda. Dengan demikian,
realitas konkret dalam struktur sosial adalah rangkaian hubungan yang
benar-benar ada, yang terjadi pada suatu waktu. Dengan kata lain, bahwa
hubungan aktual individu-individu dan kelompok-kelompok individu berubah dari
tahun ke tahun atau dari hari ke hari. Adapun bentuk sosialnya juga mengalami
perubahan tetapi sedikit demi sedikit. Struktur sosial itu ada dan dapat dipahami
dengan pendekatan pada masyarakat sederhana (individu) maupun masyarakat yang
kompleks atau manusia dalam sistem struktur (Brown, 1965: 188 et.seq.).
Dengan demikian teranglah bahwa peranan ilmu sosial sangat penting untuk
memahami masyarakat secara mendalam dan ini sangat berguna bagi sejarah.
Oleh karena itu pendekatan struktural merupakan implikasi
metodologis dari ilmu sejarah karena mau tidak mau sejarah akan menggunakan
pendekatan analitis dan multidimensional, bila melakukan rapproachment
terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adalah merupakan sesuatu yang
bermakna bagi dunia akademis manakala muncul suatu perdebatan tentang problem
metodologis. Ini semua menunjukkan pada kegairahan untuk senantiasa mencari
kebenaran yang didasarkan pada keintelektualan sejarawan. Tak kecuali dengan
upaya pengkajian sejarah dengan menggunakan pendekatan dari ilmu-ilmu sosial.
Dunia semakin global, dan ini sudah barang tentu akan berdampak pula pada ilmu
pengetahuan, meskipun bagaimanapun kecilnya.
Demikianlah ulasan dari statement
Prof. Sartono Kartodirdjo tentang penggunaan teori-teori dan konsep-konsep dari
ilmu pengetahuan sosial untuk membekali peralatan analitik bagi sejarah dalam
merekonstruksi peristiwa masa lampau.
DAFTAR PUSTAKA
Aitken, Hugh G.J. (ed.),
1954. The Social Science in Historical Study. New York: SSRC.
Alfian, Ibrahim, “Sejarah dan Permasalahan Masa Kini”
dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Pada Fakultas Sastra Universitas Gajahmada Yogyakarta, 12 Agustus
1985.
Ankersmit, F.R., 1987. Refleksi Tentang Sejarah.
Jakarta: Gramedia.
Brown, A.R. Radcliffe, 1965. Structure
and Function in Primitive Society. New York: The Free Press.
Kartodirdjo, Sartono, “Metodologi Max Weber dan Wilhelm Dilthey”,
dalam Lembaran Sejarah No. 6 Tahun 1970. Yogyakarta: Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Budaya UGM.
________________. 1982. Pemikiran
dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta:
Gramedia.
________________. 1984. Pembrontakan
Petani Banten Tahun 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
________________. 1988. Pendekatan
Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Universitas
Gajahmada Press.
________________. 1990. Kebudayaan
Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Universitas Gajahmada
Press.
Olsen, Marvin E., 1968. The
Process of Social Organization. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co.
Poespoprodjo, 1987. Subjektivitas
dalam Historiografi. Bandung: Remaja Karya.
Suryo, Djoko. “Sekitar Masalah Sejarah dengan Ilmu-ilmu
Sosial: Sebuah Catatan”, dalam Bacaan Sejarah No. 4 Tahun 1980.
Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Budaya Universitas Gajahmada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar