Jumat, 11 Maret 2011

MAKALAH ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL BERSENDIKAN AGAMA, SEBELUM KEMERDEKAAN



KATA PENGANTAR


Puja dan puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmatnya dalam kejernihan berpikir. Sehingga kami dapat merampungkan makalah yang berjudul “Organisasi Pergerakan Nasional Kebangsaan Indonesia yang Bersendikan Agama” ini. Makalah ini di buat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia III.
Tidak lupa pula kami ucapkan banyak-banyak terimakasih kepada yang terhormat bapak Drs. I Gusti Made Aryana, M. Hum., yang dalam kesempatan ini sebagai dosen langsung mata kuliah Sejarah Indonesia III. Kepercayaan beliau yang diberikan kepada kami untuk membahas materi “Pergerakan Nasional” dalam bentuk penugasan membuat makalah ini, pada awalnya memang kami rasakan sebagi sebuah beban tersendiri. Akan tetapi setelah kami menyadari esensial dari penugasan tersebut, kamipun merasa tidak terbebani dalam merampungkan makalah ini. Kami juga mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada kakanda Usman Ali yang telah memberikan sumbangsihnya dalam bentuk peminjaman sumber berupa buku-buku refrensi. Selebihnya bagi pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu dalam penyusunan makalah ini, kami ucapkan thanks.
Dalam kesempatan ini kami juga berharap semoga makalah yang dibuat dengan segala kerelatifannya ini mampu memberikan manfaat yang positif khususnya bagi kami dan umumnya bagi segenap pihak yang berkesempatan membaca makalah ini.
“Segala kekurangan hanya ada pada manusia, dan segala kelebihan hanya ada pada Sang Maha Pencipta”. Menyadari posisi tersebut kami sebagai pemakalah menyadari betul keberadaan makalah ini masih belum mencapai kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami masih sangat mengharapkan sumbang saran, kritik, dan do’a yang tentunya bersifat membangun demi eksistensi kami kedepan dalam berkarya.

Singaraja, 24 Februari 2011

      Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Suatu perubahan akan tercipta apabila ada suatu pergerakan. Mengacu pada kalimat tersebut dapat kita selaraskan dengan kondisi Indonesia saat ini yang sebentar lagi merayakan HUT proklamasi kemerdekaannya ke-66. Kemerdekaan yang diperoleh Indonesia merupakan sebuah kondisi nyata dari hasil pergerakan dan perjuangan tak henti-henti yang dilakukan oleh para pahlawan Bangsa ini. Sejarah mencatat perubahan disetiap Negara di dunia ini terjadi karena adanya pergerakan yang dilakukan oleh para pemuda, tidak terkecuali di Indonesia. dari Bangsa yang terjajah berubah menjadi Negara yang merdeka. Muhamad Yamin mengistilahkan Indonesia sebagai Bangsa budaya sebelum merdeka, dan setelah merdeka beliau menyebutnya sebagai Bangsa Negara karena telah mempunyai suatu wilayah Negara kesatuan sebagai tempat hidup bersama (Dekker, 1969: 4).
Untuk lebih memudahkan dalam memahami peranan pergerakan Nasional dalam menciptakan kondisi Bangsa yang diidam-idamkan, kiranya kita perlu memahami makna dari sebuah pergerakan. Suatu pergerakan merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam mencapai suatu cita-cita atau titik tujuan tertentu yang pasti. Sedangkan pergerakan Nasional merupakan suatu upaya yang dilakukan demi mencampai titik tujuan tertentu, yaitu membentuk suatu kondisi Bangsa yang diidam-idamkan sejak dulu (Dekker, 1969: 1-2).
Secara umum kebangkitan pergerakan Nasional Indonesia muncul dikarenakan adanya dua faktor, yaitu faktor internal. Faktor ini muncul karena adanya suatu bentuk kesadaran yang dipicu oleh pemikiran rasional dari segala bentuk nyata yang dirasakan terhadap keadaan Bangsa pada saat itu. Sistem pemerasan yang dijalankan oleh kaum penjajah berlangsung sangat lama di Indonesia. dalam hal ini karena penjajah mendaptkan keuntungan yang besar dan mereka yang diperas mengalami penderitaan. Dalam keadaan seperti itu Bangsa Indonesia mencari jalan keluar melalui berbagai macam bentuk perlawanan untuk mendapatkan kebebasan dalam hidupnya dan tanpa adanya tekanan yang mengikatnya dari Bangsa lain. Sehingga secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya penderitaan yang berkelanjutan pada masa penjajah merupakan faktor yang paling utama dari dalam negeri untuk melakukan suatu perlawanan dalam bentuk organisasi pergerakan kebangsaan Nasional Indonesia (Murni, 2005: 2).
Faktor yang ke-dua adalah faktor external berupa kejadian-kejadian besar yang terjadi di luar Indonesia, khususnya di kawasan Asia. 1905, kekalahan Rusia dalam perang senjata oleh Jepang merupakan kondisi yang memberikan momentum hangat bagi Bangsa-Bangsa timur tidak terkecuali Indonesia. Pandangan yang selalu mengedepankan orang Eropa sebagai suatu suku Bangsa yang special peoples pupus sudah, sehingga perlawanan untuk mencapai sebuah kesatuan Nasional dengan mengusir dominasi penjajah semakin menggebu-gebu, pergerakan kebangsaan India, adanya suatu pergerakan dalam bentuk partai kongres yang terjadi di India pada akhir abad ke XIX memberikan stimulus bagi Indonesia untuk ikut melakukan suatu pergerakan Nasional. Fenomena ini terjadi karena pada dasarnya antara India dan Indonesia pada waktu itu memiliki permasalahan yang sama yaitu berada dalam belenggu penjajahan. Pemberontakan Bangsa kulit berwarna terhadap dominasi penjajah yang terjadi di Fhilipina pada tahun 1898 ternyata memberikan dampak yang positif bagi Bangsa Indonesia, selanjutnya adalah pada tahun 1911, Republik Cina (Nasionalis) terbentuk di bawah kepemimpinan Sun Yat Sen (Dekker, 1969: 4). Kondisi tersebut ternyata memberikan Impact yang begitu positif dalam upaya membangkitkan kepercayaan diri Bangsa Indonesia. Peristiwa-peristiwa monumental tersebut memberikan sebuah sumbangsih tersendiri bagi Bangsa Indonesia dalam menumbuh kembangkankan kesadaran akan pentingnya sebuah Nasionalisme.
Dalam proses pergerakan Nasional yang terjadi di Indonesia, ada berbagai corak yang melatar belakanginya, di antaranya adalah pergerakan Nasional yang dilatar belakangi atas dasar Agama, atas dasar politik, atas dasar ekonomi, dan masih banyak lagi pergerakan-pergerakan Nasional yang berkembang yang dilatar belakangi oleh persamaan-persamaan sosial lainnya. Meskipun adanya perbedaan-perbedaan yang melatar belakangi pergerakan Nasional di Indonesia, namun hal tersebut tidak menjadi suatu masalah, karena pada dasarnya esensial dari pergerakan-pergerakan tersebut adalah mengupayakan suatu kondisi Bangsa yang layak disandang oleh Indonesia. Mengutip pandangan Prabowo Subianto, agar jangan sampai Negara ini dipenuhi dengan suatu kondisi yang paradoks (Subianto, 2010: 7).
Salah satu corak pergerakan Nasional yang menarik kita telisik adalah oerganisasi-organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan Agama. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kontribusi organisasi-organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan Agama dalam proses menciptakan kondisi Bangsa yang merdeka sangatlah besar. Munculnya pergerakan-pergerakan yang berhaluan Agama ini dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor pemurnian Agama, persatuan Agama, dan moderenisasi Agama (Pringgodigdo, 1986: 2-3).
Agama dan kebangsaan. Dari dua permasalahan tersebut mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran mengenai relevansi antara Agama dan kebangsaan lebih-lebih penggunaan Agama sebagai landasan dasar dalam pergerakan Nasional kebangsaan. Fenomena ini tentunya perlu dicermati secara mendalam karena antara Agama dan kebangsaan memang berbeda secara harfiah akan tetapi jangan sampai kita terjelembab ke dalam persepsi yang salah. Karena disisi lain Agama ternyata mampu menciptakan suatu kondisi kebangsaan yang pancasilais dan agamais.

1.2      Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dijabarkan di atas, pemakalah mencoba menawarkan beberapa rumusan permasalahan yang akan menjadi acuan dalam pembahasan mengenai “Organisasi Pergerakan Kebangsaan yang Bersendikan Agama”. Adapun rumusan-rumusan masalah tersebut adalah :
1.2.1        Apakah yang melatar belakangi munculnya organisasi pergerakan Nasional bersendikan Agama ?
1.2.2        Apakah pergerakan Nasional yang bersendikan Agama mempunyai relevansi dengan perjuangan Bangsa Indonesia secara universal ?
1.2.3        Sejauh manakah sepak terjang organisasi-organisasi pergerakan Nasional yang bersendikan Agama dalam peranannya terhadap Bangsa Indonesia ?



1.3    Tujuan Masalah
Mengacu pada rumusan masalah yang telah ditawarkan di atas, tentunya ada tujuan dan rasional yang jelas mengenai penulisan makalah ini, adapun tujuannya adalah sebagai berikut :
1.3.1        Untuk dapat mengetahui latar belakang munculnya organisasi pergerakan Nasional bersendikan Agama.
1.3.2        Untuk dapat mengetahui relevansi pergeakan Nasional bersendikan Agama dengan perjuangan Bangsa Indonesia secara universal.
1.3.3        Agar memperoleh gambaran secara umum mengenai sepak terjang organisasi pergerakan bersendikan Agama dalam peranannya terhadap Nusa dan Bangsa.


BAB II
PEMBAHASAN

Tiga dasawarsa pertama abad XX bukan hanya menjadi saksi penentuan wilayah Indonesia yang baru dan suatu pernyataan kebijakan penjajahan yang baru. Masalah-masalah dalam masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan yang begitu besar sehingga dalam maslah-masalah politik, budaya, dan Agama rakyat Indonesia menempuh jalan baru. Perubahan yang cepat terjadi di semua wilayah yang baru saja ditaklukan oleh Belanda. Akan tetapi, dalam hal gerakan-gerakan anti penjajahan dan pembaharuan yang mula-mula muncul pada masa ini, Jawa dan daerah Minangkabau di Sumatra menarik perhatian yang khusus. Perubahan-perubahan yang terjadi di sana sedemikian rupa sehingga sejarah Indonesia Modern memasuki zaman baru dan memperoleh kosa kata baru. Alasan-alasan yang mendorong Jawa dan Minangkabau menjadi pelopor dalam perubahan-perubahan yang mendadak ini cukup jelas.
Minangkabau telah mengalami pembahruan besar-besaran dalam Agama Islam yang pertama di Indonesia dibawah kaum Padri, Bumi Padang juga telah mengalami perubahan-perubahan yang besar sejak dipaksakannya kekuasan Belanda, dan memiliki tradisi untuk berhubungan secraa aktif dengan dunia luar yang telah membukanya bagi ide-ide baru. Ketika Raja-Raja Bali dan kaum ulama Aceh masih berjuang untuk mempertahankan tatanan yang lama dari upaya penaklukan penjajah, maka orang-orang Minangkabau dan rakyat Jawa meletakkan dasar-dasar bagi suatu tatanan baru. (M.C.Ricklefs, 1991: 247).
Kunci perkembangan pada masa ini adalah munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan dikenalnya definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang identitas. Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk baru dan lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan Agama, sosial politik, dan ekonomi pada tahun 1907 telah terbentuk suatu kepemimpinan Indonesia yang baru dan suatu kesadaran diri yang baru, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar. Adanya organisasi-organisasi pergerakan yang banyak memunculkan ide-ide, gagasan-gasan baru dan modern yang nantinya akan menjadi sebuah acuan dalam memperoleh kemerdekaan terbukti ampuh, contohnya adalah organisasi pergerakan yang berhaluan Agama.

2.1  Latar Belakang Munculnya Organisasi Pergerakan Nasional
Bersendikan Agama
Sejarah mencatat, bahwa Gerakan Salaf bertujuan utama mengembalikan ajaran Islam kepada dua sumbernya yang murni, yakni Al-Quran dan Sunnah, mengikis habis termasuk pertengkaran mazhab, bid’ah, khurafat, dan tkahyul, serta klenik, membuka terus pintu ijtihad dan menolak sifat membabi buta dalam kegelapan taklid. Gerakan salaf merupakan gerakan reformasi. Gerakan ini menghendaki perombakan total ummat Islam yang telah jauh menyeleweng dari ajaran Islam sebenarnya, merombak total luar dan dalam jiwa. Kemudian usaha tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman. Oleh kaum orientalis disebut dengan Rivival of Islam atau New World of Islam ( Stoddard, 1966: 298).
Usaha penyesuaian Agama terhadap perkembangan zaman mau tidak mau akan menimbulkan sebuah usaha reformisme dan Modrenisme. Reformisme dan Modrenisme timbul pada abad XIX di Negara-Negara Islam Asia Barat, yang merupakan reaksi terhadap tantangan Barat. Gerakan ini berpusat di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir yang dipimpin oleh Jamaluddin al Afgani, dan Indonesia merupakan salah satu Negara yang tak luput terkena imbas gerakan Reformisme dan Modrenisme dalam bidang Agama. Kondisi ini terbukti dengan munculnya beberapa organisasi pergerakan kebangsaan yang berhaluan Agama.
2.1.1   Sarekat Islam (SI)








H. Samanhudi (Tokoh pendiri SI)                     Lambang SI
Sarekat Islam (SI) merupakan salah satu partai politik yang berurat nadikan ajaran Islam dan merupakan partai Islam yang terbesar pada masa pergerakan Nasional. SI didirikan di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh H. Samanhudi. Akan tetapi ada pula yang berpandangan bahwa SI didirikan pada tahun 1911. Pada awalnya SI bernama SDI (Sarekat Dagang Islam) dan tidak kurang sebanyak lima kali mengalami pergantian nama yang kemudian kembali memakai nama SI setelah bergabung dengan PPP pada tanggal 5 Januari 1973 (Firdaus, 1997: 9-22).
Sarekat Islam tumbuh dari organisasi yang mendahuluinya yang bernama Serikat Dagang Islam (SDI). Ada dua alasan mengapa SI ini didirikan antara lain:
a.       Kompetisi yang meningkat dalam bidang peragangang Batik terutama dengan golongan Cina,
b.      Sikap superioritas orang-orang Cina terhdap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina dalam tahun 1911. Di samping itu dirasakan tekanan pula tekanan oleh masyrakat Indonesia di Solo ketika itu dari kalangan Bangsawan mereka sendiri. SDI dimaksudkan menjadi benteng bagi orang-orang Indonesia yang pada umumnya terdiri dari pedagang-pedagang Batik di Solo terhadap orang-orang Cina dan para Bangsawan tadi (Deliar Noer, 1985:116).
Latar Belakang Ekonomis merupakan landasan perkumpulan ini, kondisi ini di picu dengan perlawanan terhadap dagang antara (penyalur) oleh orang Cina. Kejadian itu merupakan isyarat bagi orang Muslim bahwa telah tiba waktunya untuk menunjukkan kekuatannya. Para pendiri SI mendirikan oraganisasainya tidak semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Cina, tatapi unutk membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putra. Ia merupakan reaksi terhadap rencana krestenings-politik (Politik pengkristenan) dari kaum Zending, perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan penindasan-penindasan dari pihak ambtenar-ambtenar bumi putra dan Eropa. Pokok utama perlawanan SI ditujukan terhadap setiap bentuk penindasan dan kesombongan rasial. Berbeda dengan Budi Utomo yang merupakan organisasi dari ambtenar-ambtenar pemerintah. Maka SI berhasil pada lapisan bawah masyarakat, yaitu lapisan yang sejak berabad-abad hampir tidak mengalami perubahan dan paling banya menderita (Nugroho Notosusanto, 1984: 183).
Bila ditinjau menurut anggaran dasarnya, yang dapat dirumuskan seperti berikut:
v  Mengembangkan jiwa berdagang
v  Memberi bantuan kepada anggota-anggota yang menderita kesukaran
v  Memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya deRajat bumi putra
v  Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang Agama Islam
Apabila kita simak dari anggaran dasarnya terkesan SI memang tidak bergerak dalam bidang politik. Tetapi kalau dilihat dari seluruh aksi perkumpulan itu dapat diproyeksikan, bahwa SI tak terlepas dalam usaha melaksanakan suatu tujuan ketataNegaraan yang selalu diperjuangkan dengan gigih. Tanpa diragukan Periode SI itu dicanangkan oleh suatu kebangkitan revolusioner dalam arti tindakan yang gagah berani melawan stelsel-penjajah (Nugroho Noto Susanto, 1984:183).
Dalam menghadapi situasi yang demikian hidup dan mengandung unsur-unsur revolusioner. Pemerintah Hindia Belanda,  menemepuh jalan hati-hati dan selanjutnya mengirimkan salah seorang penasehatnya kepada organisasi tersebut. Gubernur Jendral Idunburg meminta nasehat-nasehat dari para residen unutk menetapkan kebijaksanaan politiknya. Hasilnya ialah unutk sementara SI tidak Boleh berupa organisasi yang mempunyai pengurus besar dan hanya diperbolehkan secara lokal (Nugroho Notosusanto, 1984: 184).
Gubernur Jendral Idenburg secara hati-hati mendukung SI, dan pada tahun 1913 dia memberi pengakuan resmi kepada SI. Meskipun demikian, dia hanya mmengakui organisasi-organisasi tersebut sebagai suatu kumpulan cabang-cabang yang otonom saja dari pada sebagai suatu organisasi Nasional yang dikendalikan oleh markas besarnya (Centraal Sarekat Islam, CSI). Dengan bertindak begitu Idenburg menganggap bahwa dia membantu para pemimpin pusat organisasi baru dengan tidak membebani CSI dengan tanggung Jawab hukum atas kegiatan-kegiatan semua cabang SI. Akan tetapi, akibat keputusannya itu menjadikan CSI semakin sulit diawasi. Orang-orang Belanda lainnya menganggap bahwa pengakuan resmi Idenburg terhadap SI sama sekali keliru, dan mulai dikatakan bahwa arti SI yang sebenarnya adalah Salah Idenburg (M.C.Ricklefs, 1991:253).
Sejak tahun 1912 SI berkembang dengan pesat, dan untuk yang pertama kalinya tampak adanya dasar rakyat walaupun sukar di kendalikan dan hanya berlangsung sebentar. Pada tahun 1919 SI menyatakan mempunyai anggota 2 juta orang, tetapi jumlah yang sesungguhnya mungkin tidak pernah lebih dari setengan juta orang. Tidak seperti budi utomo, SI berkembang dari Jawa ke daerah-daerah luar Jawa, tetapi Jawa tetap menjadi pusat dari kegiatannya. Anggota-anggotanya harus mengangkat sumpah rahasia dan memiliki kartu anggota yang sering dianggap jimat oleh orang-orang desa. Tjokroaminoto kadang-kadang dianggap sebagai Ratu Adil (Raja yang adil) yang diramalkan oleh tradisi-tradisi Jawa yang bersifat mesianistis, dan yang disebut Eru Cakra ( yaitu nama yang sama dengan Cakra – Aminata, Tjokroaminoto) (M.C.Ricklefs, 1991:253).
SI menyatakan setia kepada rezim Belanda, tetapi ketika organisasi tersebut berkembang di desa-desa maka meletuslah tindak kekerasan. Rakyat pedesaan tampaknya lebih menganggap SI sebagai alat bela diri dalam melawan struktur kekuasaan lokal yang kelihatannya monolitis, yang tidak sanggup mereka hadapi, dari pada sebagai gerakan politik moderen. Oleh karena itulah, organisasi tersebut menjadi lambang kesetia kawanan kelompok yang dipersatukan dan tampaknya didorong oleh perasaan tidak suka kepada orang-orang Cina, pejabat-pejabat priyayi, mereka yang tidak menjadi anggota SI, dan orang-orang Belanda. Di beberapa daerah SI benar-benar menjadi pemerintahan bayangan dan para pejabat priyayi harus menyesuaikan diri. Aksi boikot yang dilakukan terhadap pedagang Batik Cina di Surakarta dengan cepat meningkat menjadi aksi saling menghina antara Cina-Indonesia dan tindak kekerasan diseluruh Jawa pada tahun 1913-1914 terjadi letupan tindak kekerasan yang sangat hebat di kota-kota dan desa-desa dalam hal ini cabang-cabang sarikat Islam lokal memainkan peranan penting (M.C.Ricklefs, 1991:253).
Pada tahun 1913 H.J.F.M. Sneevleit (1883-1942) tiba di Inidonesia. Dia memulai karirnya sebagai seorang penganut Katolik tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial demokratis yang revolusioner dan aktivisme Serikat Dagang. Dia kemudian bertindak sebagai agen  Komintern di Cina dengan nama samaran G. Maring. pada tahun 1914 dia mendirikan Indische Sosia-Democratische Vereniging (ISDV: Perserikatan Demokrat Hindia) di Surabaya. partai kecil yang berhaluan kiri ini dengan cepat menjadi Partai Komunis pertama di Asia yang berada di luara negri Unisoviet. Anggota ISDV hampir seluruhnya ornag Belanda tetapi oraganisasi ini memperoleh dasar dikalangan rakyat Indonesia. Pada tahun 1915-1916 partai ini menjalin persekutuan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia), sebuah partai yang didirikan pada tahun 1907 dan setelah tahun 1913 menerima sebagian besar anggota Indische Partij yang berkebangsaan Indo-Eropa, yang radikal. Anggota Insulinde berjumlah 6000 orang termasuk bebrapa orang Jawa yang terkemuka, tetapi organisasi ini jelas bukanlah suatu alat yang ideal unutk menarik rakyat sebagai dasarnya. Oleh karena itulah, maka perhatian ISDV mulai beralih kepada SI, satu-satunya organisasi yang memiliki jumlah pengikut terbesar di kalangan rakyat Indonesia (M.C.Ricklefs, 1991:261).
Suwardi Suryaningrat mencatat pada tahun 1917, bahwa berhubung dengan jalan diplomatis yang yang ditempuh oleh pemerintah Hindia Belanda, maka lambat laun unsur pemberontakan menjadi berkurang, bahkan disana sini telah berubah menjadi mantalitet semangat Belanda. Penulisan lain (D.M.G, Koch) mengemukakan adanya tiga aliran dalam tubuh SI yaitu :
1.      Bersifat Islam fanatik
2.      Bersifat menetang keras
3.      Golongan yang hendak berusaha mencari kemajuan dengan
berangsur-angsur dan dengan bantuan pemerintah
Tetapi apabila cita-cita yang tidak adil dan tidak sah terhadap rakyat Indonesia begitu jelas, maka ciri kerohanian SI tetap demokratis dan militan ( sangat siap untuk berjuang). Memang beberapa aspek perjuangan terkumpul menjadi satu di dalam tubuh SI sehingga ada yang menamakan bahwa SI merupakan gerkan  natinalistis-demokratis-ekonomis ( Nugroho Notosusanto, 1984: 184). Itulah yang menyebabkan SI dipandang lain dari pada paartai yang lainnya. Maka kecepatan tumbuhnya SI bagaikan meteor dan meluas horisontal, sehingga SI merupakan organisasi massa yang pertama di Indonesia, yang antara tahun 1917-1920 sangat terasa pengaruhnya di dalam tubuh politik Indonesia. Corak demokratis dan kesiapan untuk berjuang yang mendekatkan beberapa cabang SI dan para pemimpinnya kepada ajaran Marxis. Terutama SI dibawah Semaun dan Darsono merupkan pelopor yang menggunakan senjata baru dalam perjuangan melawan imperalisme, ialah teori perjuangn Marx ( Nugroho Notosusanto, 1984: 184).
Kondisi tersebut sudah barang tentu menimbulkan krisis dalam tubuh SI, dan pertentangan timbul antara pendukung paham Islam dan paham Marx. Debat yang seru terjadi antara H.A.Agus Salim-Abdul Muis di satu pihak dengan Semaun-Tan Malaka di lain pihak, tatkala pada tahun 1921 golongan kiri dalam tubuh SI dapat disingkirkan, yang kemudian menamakan dirinya Sarekat Rakyat (SR). SI dan SR keduanya berusaha unutk mendapatkan sokongan massa dan dalam hal ini keduanya cukup berhasil. Keadaan yang demikian menyebabkan pimpinan SI, H.O.S. Tjokroaminoto mengadakan studi perbandingan ajaran Islam dan Marxisme. Berikutnya terbit pada tahun 1924 ( Nugroho Notosusanto, 1984: 185).
Perpecahan yang terjadi di dalam tubuh SI sangat merugikan perjuangan dan cita-cita SI. Dinamika yang tejadi dalam SI mengakibatkan SI berubah nama menjadi paratai Sarekat Islam Indonesia ( PSII). Dalam tahun 30-an setelah meninggalnya tokoh utama SI H.O.S. Tjoroaminoto, perpecahan didalam tubuh SI sering kali terjadi. Sehingga peranan dan pengaruhnya sebagai paratai besar juga menjadi mundur ( Nugroho Notosusanto, 1984:185).
2.1.2   Muhammadiyah







Kyai Haji Ahmad (pendiri Muhammadiyah) dan lambang Muhammadiyah
Organisasi Islam yang modren yang paling penting di Indonesia berdiri di Yogyakarta, 18 Nopember 1912. Didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) berasal dari elite Agama kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1890 dia naik Haji ke Mekkah belajar bersama-sama Ahmad Khotib dan yang lain-lain dia pulang dengan tekad bulat untuk memperbaharui Islam dan menentang usaha-usaha Kristenisasi yang dilakukan oleh kaum Missionaris Barat. Pada tahun 1909 dia masuk Budi Utomo dengan harapan dapat berkhotbah tentang pembaharuan dikalangan para anggotanya, akan tetapi para pendukungnya mendesaknya supaya mendirikan organisasai sendiri. Pada tahun 1912 dia mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta. Muhammadiyah mencurahkan kegiatannya pada pada usaha-usaha pendidikan dan kesejahteraaan dan dalam program dakwah guna melawan Agama Kristen dan ketakhayulan-ketakhayulan lokal (M.C.Ricklefs, 1991:258).
Pada mulanya Muhammadiyah berkembang secara lamban. Organisasi ini ditentang atau diabaikan oleh para pejabat, guru-guru Islam gaya lama di desa-desa, heirarki-heirarki keagamaan yang diakui pememrintah, dan oleh komunitas-komunitas orang saleh yang menolak ide-ide Islam Modern. Dalam rangka upaya-upaya pemurniannya, organisasi ini mengecam banyak kebiasaan yang telah diyakini oleh orang-orang saleh Jawa selama berabad-abad sebagai Islam yang sebenarnya. Dengan demikian, maka pada masa awalnya, Muahammadiyah menimbulkan banyak permusuhan dan kebencian di dalam komunitas Agama di Jawa. Pada tahun 1925, dua tahun sesudah wafatnya Dahlan, Muhammadyah hanya beranggotakan 4.000 orang, tetapi organisai ini telah mendirikan lima puluh sekolah dengan 4.000 orang murid, dua balai pengobatan di Yogyakarta dan Surabaya, sebuah rumah miskin.
Organisasi ini diperkenalkan di Minangkabau oleh Haji Rasul pada tahun 1925. Sesaat setelah berhubungan dengan dunia Islam yang dinamis di Minangkabau, maka organisasi ini berkembang dengan pesat. Pada tahun 1930 jumlah anggotan organisasi ini sebanyak 24.000 orang, pada tahun 1935 berjuumlah 43.000 orang, dan pada tahun 1938 organisasi ini menyatakan mempunyai anggota yang luar biasa jumlahnya, yaitu 250.000 orang. Pada tahun 1938 organisasi in telah menyebar keseluruh pulau utama di Indonesia, mengelola 834 mesjid dan langgar, 31 perpustakaan umum dan 1.774 sekolah, serta memiliki 5.516 orang mubalig pria dan 2.114 orang mubalig wanita. Samapai sedemikian jauh dapat dikatakan bahwa sejarah Islam Modern di Indonesia sesudah tahun 1925 adalah sejarah Muhammadiyah (M.C.Ricklefs, 1991:260).

2.1.3   Nahdatul Ulama







K.H. Hasyim Asjari (pendiri NU)                Lambang NU
Pada tahun 1924 Turki menghapus jabatan khalifah, pemimpin Agama semua kaum Muslim, yang yang telah ditunutut sebagai haknya oleh sultan Usmani selama sekitar enam dawarsa. Mesir bermaksud menyelenggarakan suatu konfrensi Islam Internasional guna membahas masalah khalifah tersebut. Akan tetapi, terjadi kekakcauan lagi ketika pada tahun 1924 ibn Sa’ud merebut Mekkah, dan membawa bersamanya ide-ide pembaharuan Wahabi dan menyatakan bahwa kaum Muslim supaya menghadiri suatu konfrensi ke-khalifahan. Selama tahun 1924-1926 kaum Muslim Indonesia membentuk komite-komite yang akan menghadiri konfrensi-konfrensi tersebut tetapi wakil-wakilnya yang akan menghadiri konfrensi-konfrensi tersebut, sebagian besar adalah modernis, dan tokoh Tjokroaminoto sangat menonjol (M.C.Ricklefs, 1991:269).
Para ulama Syufi’i Jawa sudah cukup geram. Mereka membenci modernisme yang mereka samakan dengan Wahabisme ( Suatu gerakan pemurnian yang hanya mengakui mazhab Hambali), mereka meremehkan Tjokroaminoto, dan mereka merasa takut bahwa kepentingan-kepentingan keempat mazhab tidak akan diakui di Mekkah dan Kairo seperti halnya mereka telah banyak di kecam di Indonesia. oleh Karena itulah, maka pada tanggal 31 Januari 1926 K.H. Hasyim Asjari (1871-1947),  pemimpin suatu pesantren tradisional di Jombang, Jawa Timur, mendirikan Nahdatul Ulama’ (kebangkitan para ulama’, NU) unutk mempertahankan kepentingan kaum Muslimin tradisional (M.C.Ricklefs, 1991:270).
NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M dan pengurusnya besarnya berkedudukan di Surabaya sebagai pembela mazhab Syafi’i.  perkumpulan ini meluas mejadi suatu perkumpla umat Islam yang umum, bermazhab Syafi’I dan beribadah mengikuti ajaran ahlusunnah wa al jam’ah. Anggaran dasarnya disahkan dengan keputusan Gubernur Hindia Belanda pada 6 Februari 1930 No. 23 ( Abdul Karim, 2007:338).
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diterapkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Para pemuda dari NU selain belajar dan mendalami Agama,tapi juga mengajarkan ikatan kebangsaan. Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab, dan para kiai lainnya semuanya menunjukkan kemampuan memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas, melahirkan wawasan dan orientasi politik substantif. Cara NU membawa ajaran Islam tidak melalui jalan formal, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi dengan cara lentur dan akomodatif. Politik kebangsaan seperti itu secara konsisten menjadi garis politik NU sepanjang perjalanan Indonesia merdeka.
2.1.4        Ahmadiyah








Mirza Ghulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah) dan lambang Ahmadiyah

Gerakan Ahmadiyah pertama muncul di Kadian, India (sebelah utara Amsar) pada bulan September 1929. Nama dan asalnya adalah Mirza Ghulam Ahmad. Sesudah banyak mempelajari dan menulis tentang Agama Islam ia menamakan dirinya Mujaddid (Pembaharu) Agama Islam, dan kemudian tahun 1988 dalam usia 50 tahun ia mengaku dirinya sendiri Messias yang di tunggu-tunggu oleh kaum Kristen. Kaum Ortodoks tidak percaya kepdanya dan menentang dia. Tetapi Hizart Mirza Ghulam Ahmad berhasi mendirikan suatu alairan baru degan pengikutnya (Pringgodigdo, 1986:94). Ia tidak mengusik keluhuran Qur`an dan Nabi, tetapi mempunyai beberapa faham-faham sendiri yang jauh berbeda dengan faham adat kebiasaan umum. Berkembangnya aliran baru ini sering mendengungkan sabda Allah yang berbunyi bahwa sahnya dalam hal agama tidak ada paksaan. Lagi pula aliran ini mengemukakan sekali kewajiban-kewajiban manusia untuk bertindak baik (Pringgodigdo, 1986:94).
Agama Kristen ditentang menurut pelajaran-pelajaran agama (theologis), tetapi politik selalu disingkirkan oleh Ahmadiyah ( Mirza seorang sahabat negri Inggris) (Pringgodigdo, 1986:94). Setelah ia meninggal (tahun 1908) datanglah perpecahan dalam Ahamdiyah yang waktu itu telah mempunyai 70.000 pengikut di India. Dalam tahun 1913 satu golongan Kwjah Kamaluddin pergi ke Lahore dan mendirikan Agama Anjuman Ishtaati Islam (Perkumpulan untuk menyebarkan Agama Islam), dan yang lainnya tetap tinggal di Kadian dibawah Mirza Bsjiruddin Ahmad, anak Mirza Ghulam Ahmad. Perpisahan dua golongan ini makin lama makin bertambah besar juga penguasaan tentang ilmunya (Pringgodigdo, 1986:94).
Meskipun mengalami perpecahan tetapi kedua-duanya bersemangat keras, kadang-kadang bercorak menyerang dan bekerja banyak dalam usaha menyebarkan Agama Islam dimana-mana. Oleh sebab itu Ahmadiyah tersebar di seluruh Dunia (Birma, Selon, Tiongkok, Iran, Mesir, Afrika Selatan, Australia, Eropa) juaga masuk ke Indonesia. Selanjutnya di Lahore dan juga ke Kadian datanglah bebrapa pelajar-pelajar Indonesia untuk mempelajari ilmunya. Pusatnya di Indonesia adalah Yogyakarta, temapat kediaman Mirza Wali Ahamd Beig, seorang Hindu sejak tahu 1924 (aliran Lahore) dan Jakarta dengan utusan penyebar Mulvi Rachmat Ali, juga seorang Hindu ( aliran Kadian) (Pringgodigdo, 1986:94). Kedua-duanya tidak mencapuri politik dan hanya mempersoalkan prinsip-prinsip keagamaan dalam Islam, kadang-kadang anti-keristen. Ahmadiyah berpendirian derajat umum Agama Islam lebih tinggi dari pada Agama Kristen (Pringgodigdo, 1986:95), ia bercita-cita akan memasuki kalangan pemuda-pemuda terpelajar yang tidak mengakui Agama dan pemuda-pemuda yang oleh karena menuntut pelajaran barat jadi terlepas dari Agama Islam. Buat Muhammadiyah ia merupakan satu saiangan, akan tetapi kondisi yang mencengankan ternyata Erfan Ahamda Dahlan, anak pendiri Muhammadiyah, akhirnya memluk aliran Ahmadiyah (Pringgodigdo, 1986:95).
Dengan bebrapa anggota Muhammadiyah terpelajar Mirza Wali Ahamd Beig (seperti yang telah disebut penyokong Tjokroaminoto dalam menterjemahkan Al-Quaran) dalam september 1929 mendirikan perkumplan dengan nama “ De Ahmdiyah Bewegin Indonesia” (Gerakan Ahamdiya Indonesia). grakan ini didasarkan atas  :
a.       Quran, kitab suci sempurna yang terakhir, dasar dan arah hidup terbaik untuk manusia.
b.      Keyakinan bahwa Muhammad S.A.W. adalah Nabi penutup, sesudahnya tidak akan ada lagi Nabi lain: bahwa Nabi Muhammad contoh yang terbaik buat manuisa, dan oleh karen aitu mausia harus mengikutinya sebagai contoh.
c.       Pengakuan bahwa sesudah Mihrad Nabi Muhammad S.A.W. akan datang Mudjaddid-Mudjaddid dari abad 14 sesudah Hijriah (Pringgodigdo, 1986:95).
Tujuan geraka (aliran Lahore) ialah memajukan Agama Islam dengan menjalankan utusan penyebar , propoganda, meyebar buku-buku, bekerja bersama-sama dengan orang lain yang bekerja untuk agam Islam. Dimulai dengan membentuk pengurus besar dan 6 cabang. Anggotanya terutama dicari di kalangan kaum terpelajar didikan Barat, sebab hanya golongan inilah dapat diharapkan bisa berpropoganda yang berhasil untuk agam Islam, menentang Agama Kristen, dan juga oran-orang inilah yang tercakap unutk menjaga agar pemuda terpelajar tetap memeluk Agama Islam (Pringgodigdo, 1986:95).
Aliran Lahore dengan sengaja mencari hubungan dengan kaum Nasionalis, oeh sebab itu ia dapat beridiri hidup di Jawa lebih dulu dari pada aliran Kadian, meskipun pelajar-pelajar Indonesia di India lebih menyukai aliran Kadian, aliran Kadian tidak mempunyai golongan lain, tinggal menyendiri (Pringgodigdo, 1986:95).
Gerakan Ahmadiayah Indonesia tanggal 23-25 Juni 1930 mengadakan kongres di Purwokerto, pada waktu itu, antara lain adnya perpecahan dikalangan Islam dan bahaya-bahaya yang mengancam (Agama Kristen, Ateisma). Dianjurkan agar anak-anak dimasukkan sekolah Barat asal saja jangan ketinggalan dalam hal memberi pelajaran Qur`an (Pringgodigdo, 1986:96).

2.2  Relevansi Pergerakan Nasional Bersendikan Agama dengan
Perjuangan Bangsa Indonesia Secara Universal
Secara universal perjuangan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan adalah berjuang demi pembebasan bangsa dari belenggu penjajah. Ada berbagai macam cara yang dilakukan untuk merealisasikan pembebasan tersebut. Diantaranya adalah melalui pendirian organisasi pergerakan yang berhaluan agama. Meskipun organisasi pergerakan ini tidak seragam secara keseluruhan akan tetapi esensial dari tujuannya tetap sejalan dengan perjuangan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Pergerakan Nasional yang banyak diperankan oleh organisasi pergerakan yang berhaluan agama (khususnya di sini adalah agama Islam) memang terkadang banyak menimbulkan beberapa kontroversi. Kondisi Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku Bangsa dengan latar belakang yang berbeda, seperti agama yang berbeda sering memunculkan kesan egoistis dari pihak Islam. Memang tidak bisa dipungkiri perubahan yang ingin dicapai melalui Modernisasi dalam bidang Agama bukan hanya menginginkan kemerdekaan Indonesia semata. Akan tetapi moderenisasi tersebut juga bertujuan untuk merubah pola pikir rakyat yang semula terikat pada tradisi agar mampu melakukan sebuah improvisasi.
Golongan pembaharuan lebih memberikan perhatian pada sifat Islam pada umumnya, bagi mereka Islam harus sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam berarti kemajuan, Agama tidak akan menghambat usaha untuk mencari ilmu pengetahuan, perkembangan sains, kedudukan wanita karna Islam adalah Agama Universal (Deliar Noer, 1973:322).
Dalam agama Islam, cinta terhadap tanah air merupakan setengah dari pada iman. Oleh sebab itu meskipun agama dan kebangsaan merupakan dua ihwal yang berbeda, akan tetapi dapat dikombinasikan menjadi satu kesatuan yang akan saling mengisi. Pergerakan Nasional Kebangsaan yang banyak diperankan oleh organisai-organisasi pergerakan yang berhaluan agama banyak sekali memberikan kontribusi bagi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Menyimak kondisi tersebut dapat disimpulkan ternyata meskipun pergerakan Nasional kebangsaan yang berhaluan agama terkesan  tidak mewakili kondisi rakyat yang berbeda-beda, akan tetapi pergerakan-pergerakan tarsebut tatap relevan dengan kondisi perjuangan Bangsa Indonesia secara universal.

2.3  Sepak Terjang Organisasi-Organisasi Pergerakan Nasional
Bersendikan Agama dalam Peranannya Terhadap Bangsa Indonesia
Peranan-organisasi pergerkan Nasional yang beridiologi Agama di Indonesia ternyata banyak memberikan pengaruh terhdap perubahan pola fikri rakyat pri bumi, sehingga rakyat sadar akan dirinya untuk mau memperjuangkan aspirasinya. Kemerdekaan Indonesia dapat berjalan apabila seluruh rakyat Indonesia mau bersatu mendukung kemerdekaan itu, hal inilah yang menjadi tujuan dari setiap organisasi pergerakan yang ada di Indonesia termasuk juga organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia yang bernafaskan Agama, semuanya memengingkan agar rakyat Indonesia dapat hidup dengan layak di Negaranya sendiri, dan tidak di jajah lagi oleh Negara manapun.
Organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan Agama memiliki peranan dalam hal pemabangunan pendidikan, mempersatukan ummat diseluruh Indonesia, mengubah pola pikir rakyat Indonesia yang masih bersifat feodal agar mereka berani mengeluarkan aspirasinya untuk bersatu memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia. Adapun peranan dari masing-masing organisasi yang berideologikan Agama dalam Bangsa ini sebagian besar organisasi itu adalah SI, Muahammadiyah, NU.
2.3.1    Peranan Sarekat Islam (SI)
Perkembangan pendidikan di Indonesia juga banyak diwarnai oleh pendidikan yang dikelola umat Islam. Ada tiga macam jenis pendidikan Islam di Indonesia yaitu pendidikan di surau atau langgar, pesantren, dan madrasah. Walaupun dasar pendidikan dan pengajarannya berlandaskan ilmu pengetahuan Agama Islam, mata pelajaran umum lainnya juga mulai disentuh. Usaha pemerintah Kolonial Belanda untuk memecah belah dan Kristenisasi tidak mampu meruntuhkan moral dan iman para santri. Tokoh-tokoh pergerakan Nasional dan pejuang Muslim pun bermunculan dari lingkungan ini. Banyak dari mereka menjadi penggerak dan tulang punggung perjuangan kemerdekaan. Rakyat Indonesia yang mayoritas adalah kaum Muslim ternyata merupakan salah satu unsur penting untuk menumbuhkan semangat Nasionalisme Indonesia. Para pemimpin Nasional yang bercorak Islam akan sangat mudah untuk memobilisasi kekuatan Islam dalam membangun kekuatan Bangsa. tentang perlawanan Islam terhadap Kolonialisme, dimulai sejak dibentuknya Sarikat Dagang Islam (kemudian SI) untuk mengimbangi Sarikat Dagang Kolonial (VOC) di tanah Jawa.
2.3.2   Peranan Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar mengalami perluasan terkait ruang dan lingkupnya. Muhammadiyah tidak hanya berkiprah dalam dunia dakwah keagamaan saja, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam dimensi sosial kemasyarakatan. Muhammadiyah bukan organisasi politik, akan tetapi Muhammadiyah tidak buta politik, sebaliknya Muhammadiyah selalu berpartisipasi dalam setiap pengambilan kebijakan politis. Muhammadiyah memberikan dukungan ataupun tuntutan yang digunakan sebagai in put untuk memperbaiki tingkat kehidupan dan derajat manusia. Dukungan ataupun tuntutan disalurkan secara terorganisir oleh Muhammadiyah sehingga akan mempengaruhi proses pengambilan kebijakan pemerintah (konversi). Sesuatu yang dihasilkan dari out put akan mendapatkan evaluasi dalam bentuk timbal balik (feed back) dari Muhammadiyah (Tamimy, M.Djindar. 1990).
Aksi sosial Ahmad Dahlan bukan semata gerakan keagamaan dalam arti ritual, melainkan bisa disebut sebagai “revolusi kebudayaan”. Berbagai gagasan dan aksi sosial Ahmad Dahlan tidak hanya mencerminkan nalar kritisnya, melainkan juga menunjukkan kepedulian pada nasib rakyat kebanyakan yang menderita, tidak berpendidikan dan miskin (Sirin, Winata. 1995. Gerakan Pembahruan Muhammadiyah).
Ahmad Dahlan tidak menginginkan masyarakat Islam yang seperti dahulu, ataupun masyarakat baru yang membentuk budaya Islam baru. Jalan yang ditempuh Ahmad Dahlan adalah dengan menggembirakan umat Islam Indonesia untuk beramal dan berbakti sesuai dengan ajaran Islam. Bidang pendidikan misalnya, Ahmad dahlan mengadopsi sistem pendidikan Belanda karena dianggap efektif, bahkan membuka peluang bagi wanita Islam untuk sekolah. Sedangkan dibidang sosial Ahmad Dahlan mendirikan panti asuhan untuk memelihara anak yatim dan anak-anak terlantar, yang kemudian banyak berkembang yayasan-yayasan Yatim Piatu Muhammadiyah, Rumahsakit PKU Muhammadiyah, dan lembaga pendidikan Muhammadiyah baik TK, SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang jumlahnya terbesar di Indonesia (Tamimy, M.Djindar. 1990).
2.3.3   Peranan Nahdatul Ulama’ ( NU )
Pada dasarnya NU tidak mencampuri urusan politik dan dalam kongresnya pada bulan oktober 1928 di Surabaya, diambil keputusan untuk menentang reformasi kaum moderenis. Selama sepuluh tahun setelah berdirinya, NU menunjukkan kegiatan sendiri namunk, karna terdesak kebutuhan untuk mengadakan persatuan umat umat islam maka pada tahun 1937 NU begabung dalam M.I.A.I. hal ini dapat dimengerti bahwa kerjasama politik akan lebih menguntungkan dalam menghadapi tantangan dari luar, khususnya ancaman Jepang yang mulai bergerak ke Selatan (Suhartono, 1994: 50-51). Dalam kongres-kongres selanjutnya terdapat keputusan yang menyebutkan bahwa di samping beragama islam anggota NU juga harus berhaluan Nasional Indonesia. adapun putusan kongres yang dilarang untuk disiarkan adalah perkerasan, pengamatan berhubung dengan keadaan perang (Pringgodigdo, 1986: 172).
Adapun peranan NU unutk Bangsa Indonesia antara lain :
1.      Di bidang Agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  1. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
  2. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keIslaman dan kemanusiaan.
  3. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
  4. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
(www.wikipedia.com//21-februari-2011//sejarah-NU).
Perkembangan selanjutnya NU banyak memberikan peranan penting di antaranya adalah, dimulai dari resolusi Jihad pada 1945 hingga ketika menghadapi gerakan- gerakan separatis berbau Agama seperti DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta maupun pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan pada 1950-an hingga 1960-an. Pada semuanya itu, NU berdiri tegas di pihak republik.Mereka juga selalu siap membela keutuhan NKRI dari intervensi luar. Garis politik seperti itulah yang memudahkan kalangan NU menerima Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final perjuangan umat Islam, sebagai sesuatu yang harus dibela dan dipertahankan. Itu semua berkat pelajaran sang guru, Syekh Zaini Dahlan, almaghfurlah.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan masalah mengenai pergerakan Nasional yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses pergerakan Nasional yang terjadi di Indonesia, ada berbagai corak yang melatar belakanginya, di antaranya adalah pergerakan Nasional yang dilatar belakangi atas dasar Agama, atas dasar politik, atas dasar ekonomi, dan masih banyak lagi pergerakan-pergerakan Nasional yang berkembang yang dilatar belakangi oleh persamaan-persamaan sosial lainnya. Meskipun adanya perbedaan-perbedaan yang melatar belakangi pergerakan Nasional di Indonesia, namun hal tersebut tidak menjadi suatu masalah, karna pada dasarnya esensial dari pergerakan-pergerakan tersebut adalah mengupayakan suatu kondisi Bangsa yang layak disandang oleh Indonesia.
Salah satu corak pergerakan Nasional yang menarik kita telisik adalah oerganisasi-organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan Agama. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kontribusi organisasi-organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan Agama dalam proses menciptakan kondisi Bangsa yang merdeka sangatlah besar. Munculnya pergerakan-pergerakan yang berhaluan Agama ini dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor pemurnian Agama, persatuan Agama, dan moderenisasi Agama (Pringgodigdo, 1986: 2-3).
Meskipun organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan agama ini terkadang memberikan kesan tidak melakukan penghimpunan secara keseluruhan melainkan hanya terhimpun atas dasar golongan saja, akan tetapi hal itu tidak menjadi kendala karena esensial dari setiap pergerakan organisasi tersebut adalah menciptakan kondisi yang benar-benar layak disandang oleh bangsa ini. Ketika kita tinjau dari aspek kebangsaan dengan menggunakan sudut pandang agama ternyata perkembangan bangsa yang diusahakan melalui haluan agama mampu relevan dengan perjuangan bangsa secara universal, hal ini dapat dirasakan dengan terciptanya kondisi bangsa saat ini yang tidak bisa dipungkiri merupakan hasil dari kontribusi organisasi-organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan agama pada masa pra kemerdekaan dahulu.
3.2 Saran
Menyimak eksistensi dari setiap organisasi pergerakan nasional pada masa pra kemerdekaan, pemakalah memberikan saran bahwasanya segala bentuk dinamika dari apa yang terjadi pada masa itu tentunya mampu memberikan sebuah pembelajaran yang primer bagi semua generasi penerus bangsa. Jangan sampai kita seperti ibarat “Ikan yang terkena pancing dua kali dengan umpan yang sama”.
Perbedaan memang secara alamiah akan selalu ada dalam segala hal. Akan tetapi melalui setiap perbedaan inilah kita harus mengimplementasikan kecerdasan, keprofesionalan, dan keluasan pola pikir. Selanjutnya pemakalah menekankan generasi muda harus mampu aktif mengisi kemerdekaan ini sehingga segala bentuk pergerakan dan perjuangan generasi terdahulu menjadi sia-sia.




DAFTAR PUSTAKA


Dekkeer, I Nyoman. 1969. Sejarah Indonesia Baru. Malang.---------

Djoened Poesponegoro, M. & Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Firdaus. 1997. Sarekat Islam Bukan Budi Utomo. Jakarta : CV. Datayasa.

Karim, Abdul M. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yoyakarta : Pustaka Book Publisher

Djoened Poesponegoro, M. & Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Noer, Deliar. 1985. Gerkan Moderen Islam di Indonesia 1900 ~ 1942. Jakarta : LP3ES.

“Muncul dan Berkembangnya Pergerakan Nasional Indonesia”, dalam http://www.crayonpedia.org/mw/, diakses pada tanggal 23 Febriari 2011.

Murni, Sri Pangestri Dewi. 2005. Pergerakan Nasional Indonesia. dalam http://library.usu.ac.id/download/fs/sejarah-sri%20pangestu.pdf, diakses pada tanggal 23 Febriari 2011.

Pringgodigdo. 1986. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta : PT. Dian Rakyat.

Ricklefs, M. C. 1991. A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan.

Satria, Hariqo Wibowo. 2010. Lafran Pane “Jejak Hayat Pemikirannya”. Jakarta : Lingkar Penerbit.

Soemardjan, Selo. 2000. Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Subianto, Prabowo. 2010. Membangun Kembali Indonesia Raya ”Haluan Baru Menuju Kemakmuran”. Jakarta : Institut Garuda Nusantara.

Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional “dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.