Selasa, 19 April 2011

SEJARAH ASIA TENGGARA - MYANMAR

BAB I
PENDAHULUAN


I.I. Latar Belakang
Burma atau Myanmar adalah salah satu negara yang terletak di Asia Tenggara. Burma terletak diwilayah daratan Asia Tenggara (Mindland) yaitu di ujung timur kawasan Asia Tenggara. Secara Astronomis Burma (Myanmar) terletak pada 9,85o LU-28,29o LU dan 92,11o BT-101,10o BT. wilayah Burma berbatasan dengan negara-negara India disebelah barat, Thailand disebelah timur, Cina dan India disebelah utara, Teluk Benggala dan Lautan Hindia disebelah selatan. Dalam berbagai media sering dikatan bahwa Burma merupakan India di Asia Tenggara dan merupakan jajahan Inggris yang paling terbelakang.
Myanmar terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda yang dipersatukan oleh suatu proses perjalanan sejarah yang panjang. Suku bangsa yang mendiami wilayah Myanmar adalah suku bangsa Pyu, Mons, Karen, Shan (bangsa Siam) dan Kachin (dibagian utara) (Soebantardjo, 1960:66). Jumlah penduduk Myanmar sebesar 49,2 juta jiwa  (2003) dengan kepadatan penduduk 73 jiwa/Km dan pertumbuhan penduduk sebesar 1,4% per tahun. Sebagian besar penduduk Myanmar tinggal di Pedesaan dan hidup dari pertanian, sehingga ekonomi Myanmar bertumpu pada sektor pertanian, dan kegiatan perekonomian lain seperti Jasa, Industri dan pertambangan. Myanmar memiliki cukup banyak hasil tambang, meliputi Minyak bumi, Emas, Timbal, Tembaga dan Timah.
Suatu negara selalu memiliki perjalanan sejarah yang membentuk negara yang bersatu, begitu juga dengan Myanmar. Zaman Prasejarah Myanmar tidak begitu banyak diketahui karena terbatasnya bukti-bukti yang ada, sebagian besar masyarakat Myanmar dipengaruhi oleh budaya India yang ditandai dengan mayoritas masyarakatnya menganut agama Budha. Sehingga Myanmar pernah disatukan oleh Inggris dengan wilayah India, namun dalam perkembangannya dipisahkan lagi karena ada sedikit perbedaan dengan India dan letak Geografis yang memisahkannya.
Myanmar pada awalnya merupakan negara yang cukup tertutup dari kawasan Asia Tenggara.  Kondisi ini disebabkan oleh karena mereka merasa berbeda dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti halnya budaya, sebab budayanya sangat kental dengan budaya India. Akan tetapi seiring berjalannya perkembangan dunia yang mau tidak mau setiap bangsa dan negara akan terkena imbasnya tidak terkecuali Myanmar, kondisi ini ditandai dengan keikutsertaan negara Myanmar  dalam berbagai organisasi Internasional seperti masuknya Myanmar kedalam anggota ASEAN pada 23 juli 1997 dan menjadi anggota yang ke-9. Tapi dalam berbagai organisasi diluar kawasan Asia Tenggara Myanmar sangat aktif seperti menjadi ikut dalam Konferensi Asia Afrika (KAA), Negara Non-Blok dan pada organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa  (PBB) dan UNO (United Nations Organitation), dan perwakilan dari Myanmar pernah menjadi sekretaris jendral PBB yaitu U That pada periode 1961-1971. Namun dalam perkembangan  dasa warsa terakhir ini Myanmar semakin membuka diri terhadap negara-negara Asia Tenggara, banyak kerjasama baik hubungan Bilateral maupun multirateral dilakukannya.

I.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang mengenai Myanmar yang telah disampaikan di atas, ada beberapa permasalahan-permasalahan yang kiranya perlu memperoleh pembahasan lebih lanjut. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat disumuskan sebagai berikut :
I.2.1. Bagaimanakah perjalanan sejarah Myanmar ?
1.2.2. Seperti apakah gambaran Myanmar pada era Junta militer ?
I.2.3. Bagaimanakah Prospek Demokrasi di Myanmar “Rezim Militer dan Sipil” ?

1.3. Tujuan Masalah
Dari penjabaran rumusan masalah di atas, diharapkan akan terpenuhinya tujuan dari masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun tujuan masalahnya disini adalah sebagai berikut :
1.3.1. Untuk mengetahui perjalanan sejarah Myanmar.
1.3.2. Untuk mengetahui gambaran Myanmar pada era Junta militer.
1.3.3. Untuk mengetahui Prospek Demokrasi di Myanmar  “Rezim Militer dan  Sipil”.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perjalanan Sejarah Negara Myanmar
Suatu bangsa tentu memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang dalam menemukan jati diri bangsa yang ideal untuk prospek eksistensi bangsa tersebut kedepannya, begitu juga dengan Myanmar yang akan dibahas dalam makalah ini. Selanjutnya untuk lebih memudahkan dalam pembahasan mengenai perjalanan sejarah Myanmar perlu diadakan suatu pembagian atau periodisasi, adapun pembabakannya ialah sebagai berukut :
2.1.1    Zaman Prasejarah
Zaman prasejarah Myanmar atau Burma tidaklah berbeda dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Alat-alat khas Asia Tenggara yang muncul pertama kali pada kala pleistosen tengah, alatnya berupa lempengan batu yang diasah pada satu sisi yang sering disebut kapak, buktinya pernah ditemukan didataran tinggi Burma  yang dikaitkan dengan periode zaman Es  (Groslier, 2007:39). Dilihat dari temuan diwilayah Burma, sejak zaman prasejarah telah dihuni manusia, jika dilihat dari wilayah lainya seperti Jawa yang menghasilkan alat yang seperti itu adalah Homo Wajakensis sehingga di Burma juga hidup species yang sama seperti di Jawa, maka kehidupan prasejarah di Burma tidaklah berbeda dengan di wilayah Asia Tenggara lainnya. System “Primus Interpares” sangatlah kuat dan kehidupan bercocok tanam (Neolitikum) berkembang pesat dikawasan sepanjang lembah sungai Irawady dan sungai-sungai lainnya.
2.1.2 Zaman Proto-Sejarah
Sekitar abad I sampai II masehi  dimulailah perdagangan Laut antara India dan Cina. Perdagangan lewat Laut ini membutuhkan suatu tempat berlabuh karena keterbatasan alat Navigasi dan untuk mencari bahan logistik awak Kapal sekaligus melakukan kontak dagang dengan masyarakat ditempat berlabuh. Dilihat dari letak geografis Myanmar yang terletak dijalur pelayaran tersebut membuat terjadinya kontak antara masyarakat Myanmar dengan para pedagang terutama yang berasal dari India. Kontak dengan pedagang India ini membuat terjadinya kontak budaya. Kontak ini terutama terjadi diwilayah pantai Myanmar. Para pedagang mendirikan Kerajaan-kerajaan kecil dan menyebabkan masuknya peradaban India di Myanmar sekaligus membuat bangsa Myanmar memasuki zaman sejarah karena mulai dikenalnya tulisan yang mereka pelajari dari bangsa India termasuk mulai berkembangnya Ajaran Agama Budha di Myanmar  (Soebantardjo, 1960:67).
2.1.3    Zaman Kebangsaan atau Babak Perebutan Kekuasaan Tunggal
Sesudah masuknya pengaruh India di Myanmar, pada tahun 1044 berdirilah kerajaan Pagan yang cukup terkenal dan menguasai seluruh wilayah Myanmar. Kerajaan Pagan didirikan oleh Anawratha (1044-1077). Corak dasar kerajaan Pagan adalah “Hinduisme” atau “Hinduized” atau juga “Hindic” yang artinya kerajaan yang dipengaruhi budaya atau peradaban India  (Abdulgani, 1978:15).
Kerajaan Pagan berkuasa di Myanmar sekitar 2,5 abad. Kerajaan Pagan memiliki hubungan yang sangat erat dengan kerajaan di Srilangka yang menyebabkan kuatnya pengaruh Budha Hinayana di Myanmar. Kerajaan ini hancur karena serangan Tiangkok (Cina) dibawah pimpinan Kubhilai Khan pada tahun 1287 dan menyebabkan masuknya bangsa Shan (sebangsa dengan Siam) yang menghancurkan sisa-sisa kerajaan Pagan. Hal ini menyebabkan Myanmar kembali terpecah menjadi beberapa kerajaan meliputi Pegu, Toungoo, Ava, Arakan  (Chittagong)  (Soebantardjo, 1960:67).
Hancurnya kerajaan Pagan yang membuat terpecahnya kembali Myanmar tidak terjadi dalam waktu lama karena Myanmar kembali dipersatukan oleh kerajaan Toungoo dibawah pimpinan raja Tabin Shwehti (1531-1550), dia adalah orang pertama yang mendapat gelar Raja Burma  (1546), Penggantinya adalah Baying Naung (1551-1581) ia berhasil melakukan perluasan kekuasaann sampai ke Siam  (1563). Kerajaan Tounggo terus mengalami kemunduran dan akhirnya  Kerajaan Toungoo berakhir pada tahun1600.


2.1.4    Zaman Pertemuan dan Perebutan Kekuasaan Tunggal Secara Internasional
Kerajaan Toungoo mengalami keruntuhan karena tidak bisa menjaga eksistensi kekuasaannya diwilayah Myanmar. Sebagai ganti dari keberadaan kerajaan Toungoo muncullah kerajaan Ava pada tahun 1752 dengan rajanya Alaungpaya yang kemudian menjadi peletak dasar bagi keberadaan kerajaan Birma  (Soebantardjo, 1960:68). Dalam satu tahun kerajaan Ava dibawah raja Alaungpaya telah berhasil menyatukan Myanmar dengan bantuan dari Inggris. Bantuan yang diberikan Inggris terhadap Alaungpaya dengan tujuan menghalangi Francis karena meluaskan pengaruhnya ke Barat, dengan mengkonsolidir Birma untuk menjadikan benteng bagi Inggris di India. Pengganti-pengganti Alaungpaya memiliki kedudukan semakin kuat dan bersifat ekspansif. Kekuasaan kerajaan Birma (Ava) sampai di daerah Siam yang ditaklukan pada 1793. Kerajaan Birma tidak puas dan akhirnya menyerang India, serangan ke India sampai diwilayah Manipur, Assam, dan Kachar. Serangan kerajaan Burma ini dibawah pimpinan Raja Bodawpaya  (1781-1819) dan Raja Bagyidaw  (1819-1837).  Serangan kerajaan Burma ini menyebabkan terjadinya peperangan dengan Inggris. Adapun peperangan antara Inggris dengan kerajaan Burma adalah sebagai berikut:
1.    Perang Burma I  (1824-1826)
Sebab dari perang ini adalah karena kerajaan Burma dibawah raja Bagyidaw menyerang Benggal, Manipur dan Assam (1923) yang merupakan daerah kekuasaan Inggris diwilayah India. Angkatan perang Inggris dibawah pimpinan Jendaral Campbell menyerang Rangoon. Pasukan Burma mengalami kekalahan karena persenjataan yang tidak sehebat pasukan Inggris. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Inggris dan terciptalah suatu perjanjian perdamaian yang disebut perjanjian “Yandabu” adapun isinya adalah sebagai berikut :
I.    Burma harus membayar kerugian perang.
II.    Burma harus menerima perjanjian perdagangan yang sangat merugikan.
III.    Assam, Arakan dan Tenasserim diambil Inggris.
IV.    Di Ava (Ibukota kerajaan Burma) ditempatkan resident Inggris untuk mengawasi kepentingan Inggris.
2.    Perang Burma II  (1852-1853).
Sebab perang ini karena Raja Burma Pagan Min  (1846-1852) menghalangi perdagangan Inggris di Burma. Perang ini diawali dengan serangan Inggris dibawah jendral Godwin dengan menduduki Rangoon dan kemudian Pegu. Raja Pagan Min turun tahta dan digantikan oleh raja Mindon Min (1853-1878) yang menyerah pada Inggris. Perang ini menyebabkan hancurnya kekuatan kerajaan Burma karena semua wilayah yang sangat strategis telah dikuasai oleh Inggris yaitu sepanjang Sungai Irawady dan kerajaan Burma memindahkan Ibukotanya ke Mondalay  (1857).
3.    Perang Burma III  (1883)
Tampaknya kerajaan Burma mengetahui jika antara Inggris dan Francis merupakan musuh bebuyutan, sehingga raja Burma Thibaw memanfaatkan hal itu dengan melakukan hubungan rahasia dengan Francis untuk membantunya memperoleh kemerdekaan Burma. Hal ini diketahui sehingga menimbulkan kemarahan Inggis yang kemudian menyerang pusat kerajaan Burma di Mandalay dengan angkatan Lautnya dibawah pimpinan jendral Prendergast, serangan ini dilakukan dengan menyusuri sungai Irawady dan kemudian menyerang Ibukota kerajaan. Raja Thibaw menyerah dan diasingkan ke India oleh Inggris, ia merupakan raja Burma yang terakhir setelah itu Burma resmi menjadi jajahan Inggris pada tahun1886.
4.    Imperialism Inngris di Burma  (1886-1948)
Sejak jatuhnya kerajaan Burma, wilayah ini secara langsung menjadi wilayah koloni Inggris. Inggris memiliki basis kolonial di India yang dekat dengan Burma yang memiliki budaya yang mirip sehingga antara Burma dan India dijadikan satu. Burma ditetapkan menjadi bagian dari Provinsi India. Semua peraturan yang diberlakukan di India juga berlaku di Burma.  Meskipun sering tidak sesuai dengan keadaan di Burma (Soebantardjo, 1960:70). Sejak Inggris berkuasa di Burma terjadi banyak perubahan dimana semakin modernnya masyarakat walaupun sering menyebabkan konflik dimasyarakat. System pertanian semakin baik begitu juga dengan sarana perhubungan walaupun itu semua demi kepentingan Inggris tapi masih bisa dinikmati masyarakat.
2.1.5    Zaman Pergerakan Kemerdekaan dan Proklamasi Burma
a.    Munculnya Nasionalisme di Burma
Munculnya suatu gerakan nasional tentu dipengaruhi oleh berbagai sebab, adapun sebab-sebab gerakan nasionalisme Burma adalah sebagai berikut :
1.    Pada hakekatnya bangsa Burma tidak kehilangan rasa kebangsaannya, walaupun telah menjadi jajahan Inggris, semangat kebangsaan Burma belum hilang.
2.    Kemenangan Jepang atas Rusia  (1905) yang memperkuat nasionalisme di India, yang juga berpengaruh bagi nasionalisme di Burma karena menjadi satu wilayah dengan India.
3.    Perundingan-perundingan dalam perdamaian Versailles dimana Wilson memperjuangkan hak menentukan nasibnya sendiri  (self determination) bagi bangsa-bangsa yang belum merdeka.
4.    Montagu-Chelmsford Reform yang hanya berlaku di India tidak di Burma.
Jadi gerakan nasionalisme Burma dimulai setelah perang dunia I, yaitu setelah Montagu-Chelmsford tidak berlaku di Burma sehingga meresahkan masyarakat. Gerakan ini dimulai pada tahun 1919 dibawah organisasi GCBA  (the general council of Buddhist associations), organisasi ini merupakan kesatuan aksi nasionalisme Burma yang menentang kolonialisme Inggris. Akhirnya Inggris membuat kebijakan baru berdasarkan penelitian dari Panitya Simon Commision yang hasilnya adalah :
1.    Burma dipisahkan dari India dan menjadi negara sendiri.
2.    Harus dibentuk UUD bagi Burma.
Dengan menindak lanjuti usulan itu maka keluarlah keputusan Inggris yang disebut “the government of Burma Act” yang isinya adalah sebagai berikut : Burma dipisahkan dari India dan menjadi koloni tersendiri dengan ketentuan :
a.    Kepala negara seorang Gubernur Inggris dengan kekuasaan eksekutif.
b.    Kekuasaan legislative dipegang oleh parlemen yang anggotanya dipilih rakyat Burma.
c.    Daerah Shan, Karenni, Kachin, Chin merupakan “excluded areas” yang diperintah langsung oleh gubernur. Perlemen Burma tidak memiliki hak untuk daerah ini.
d.    Gubernur memiliki hak Veto.
e.    The Geverment of Burma ini berlaku pada tahun 1937.
Kebijakan ini tidak banyak membawa perubahan karena kekuasaan gebernur masih sangat tinggi. Namun ada beberapa kebijakan parlemen yang menguntungkan yaitu:
1.    Melakukan perubahan agraria seperti sewa tanah dan pembagian tanah pada masyarakat.
2.    Mengadakan pembatasan Imigrasi dari India yang selama ini meresahkan masyarakat Burma karena mengambil alih mata pencarian mereka.
b.    Organisasi gerakan nasionalisme Burma
Ada banyak organisasi pergerakan di Burma yang memiliki tujuan masing-masing yaitu seperti:
1.    General Council of Buddhist Association  (GCBA)
2.    Sinyetha  (partai rakyat miskin)
Didirikan dan dipimpin oleh Dr Ba Maw. Partai ini menghendaki perbaikan nasib rakyat jelata dan dalam politiknya partai ini bekerja sama dengan partai Conggres India. Dr ba Maw mengabungkan diri dengan Jepang dan menjadi presiden Burma bentukan Jepang
3.    Myohit  (partai nasionalis)
Didirikan oleh U Saw, partai ini menghendaki status dominion bagi Burma. U Saw adalah orang yang anti Inggris dan Pro Jepang sehingga pada perang dunia II di penjarakan inggris. Ia merupakan dalang dari pembunuhan U Aung San pada tahun 1947.
4.    Dobama Asiayone  (kita bangsa Burma)  (partai Thakin)
Thakin artinya tuan, keanggotaan partai ini adalah kaum muda seperti mahasiswa dan para pelajar. Partai ini bersifat revolusioner, patriotis dan sosialis yang menuntut kemerdekaan penuh Burma. Pada saat perang dunia berlangsung partai ini bekerjasama dengan Jepang. Tapi setelah pemerasan Jepang mereka berbalik melawan Jepang dengan membentuk The anti-fascist people freedom league  (AFPFL) pada tahun1944, dibawah pimpinan U Aung San sehingga Jepang lebih mudah dikalhkan oleh Inggris.
c.    Kemerdekaan Burma  (4 januari 1948)
Saat Jepang menyerah Inggris mulai masuk ke Burma namun mendapat perlawanan dari Aung San. Untuk menghindari peperangan besar maka diadakan perundingan antara Aung San, lemahnya Inggris disebabkan terjadinya konflik antara golongan militer dibawah jendral Sir Hubert Rance dengan golongan sipil dibawah Dorman-Smith. Setelah itu inggris mengembalikan U Saw dengan tujuan memecah belah keduanya tapi gagal. Saingan U Aung San adalah Than tan dari partai komunis yang kemudian dikeluarkan dari AFPFL. Kemudian Aung San melakukan perundingan dengan inggris yang  pada tanggal 27 januari 1947 inggris menjanjikan kemerdekaan setahun kemudian. Namun pada tanggal 19 Juli 1947 ia terbunuh bersama para pemimpin AFPFL oleh U Saw. Aung San digantikan oleh Thakin Nu pada tanggal17 Oktober 1947 dan mengadakan perjanjian dengan inggris yang menetapkan kemerdekaan Burma pada 4 januari 1948 sebagai Republik of the Union of Burma yang terdiri atas Shan state, Kachin State, Karenni State dan the Central Unit.

2.2. Myanmar Pada Era Junta Militer
Perkembangan Myanmar sebagai sebuah negara yang berada di kawasan Asia Tenggara memang tergolong masih terbelakang dibandingkan dengan negar-negara lain yang ada dikawasan tersebut. Kondisi demikian disebabkan oleh faktor primer yang besumber dari dalam negeri. Suasana Atmosfer perpolitikan yang sangat suram merupakan kondisi yang sangat ironis yang membawa Myanmar kepada komerosotan dalam segala bidang.
Fakta membuktikan bahwa proses isolasi yang dijalankan pemerintahan Myanmar demi mempertahankan kekuasaan yang otoriter terbukti kedepannya merupakan suatu tindakan yang salah total. Tahun 1987 Myanmar oleh PBB dikategorikan salah satu dari 10 negara paling terbelakang di dunia. Di sebuah negara tertutup yang dipimpin Junta militer, apa saja bisa terjadi setiap saat. Untuk mengurangi eskalasi kecaman luar negeri terhadap perkembangan politik di dalam negeri, Junta berusaha memblokir arus informasi keluar Myanmar, melarang terbit koran dalam negeri yang tidak sepaham dengan pemerintah, serta tidak memperbolehkan orang asing masuk ke Myanmar. Putusnya jaringan internet untuk berkomunikasi keluar-masuk Myanmar dicurigai disebabkan oleh Junta.
Langkah-langkah pengucilan diri dari dunia luar ini bukanlah hal baru dalam sejarah 45 tahun kekuasaan Junta. Setelah berhasil melakukan kudeta tahun 1962 di bawah komando Jenderal Ne Win, Junta militer segera menunjukkan sikap tidak senangnya terhadap unsur-unsur luar negeri yang bisa merongrong budaya, bahasa, tradisi dan agama bangsa Myanmar. Segera setelah itu Junta mengusir kelompok pedagang imigran Cina dan India yang merupakan penggerak ekonomi negeri itu, dengan alasan hanya sosialismelah yang akan membebaskan ketergantungan ekonomi negara itu dari negara maupun bangsa lain.
Pengusiran imigran India dan Cina merupakan titik balik dari nasionalisme salah kaprah ala Junta militer sejak negeri itu dikuasai oleh Inggris. Untuk mengikis anasir-anasir asing, Junta merasa harus memutar kembali jarum sejarah yang lebih dahulu ditorehkan bangsa Inggris terhadap bangsa Myanmar. Di bawah kekuasaan Inggris, Myanmar adalah negeri kaum imigran yang didatangkan Inggris dari koloninya seperti India, Malaysia dan Singapura. Tahun 1931, sekitar tujuh persen penduduk Myanmar terdiri dari imigran India yang berasal dari Bengal dan Madras. Yangon sendiri, dikenal sebagai kota kaum imigran, sekitar 2/3 penduduknya tahun 1931 merupakan kaum imigran, 53 persen di antaranya adalah imigran India. (Church 2003:108-121).
Namun di bawah Junta, kohesi sosial yang sudah lama terbangun antara imigran dan penduduk asli Myanmar ini diacuhkan begitu saja demi ”nation building” bangsa Myanmar yang salah kaprah. Bagi Junta, sejarah telah bergerak salah arah sehingga harus diluruskan ke tempat seharusnya.
Hal yang sama terjadi tahun 1990 ketika National League for Democracy (NLD) di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi memenangi lebih dari ¾ total jumlah kursi parlemen. Bagi Junta, sekali lagi, ini adalah sejarah yang salah arah. Suu Kyi mestinya tak mampu memenangi pemilu yang dijaga ketat aparat militer. State Law and Order Restoration Council (SLORC), begitu pemerintah Myanmar menamakan diri, sangat yakin akan mampu memenangi pemilu 1990 karena intel-intel Junta telah bekerja “sangat baik” untuk mengontrol warga. Karenanya, karena hasil pemilu bertentangan dengan keinginan Junta, maka hasilnya dinyatakan batal.
Sejak saat itulah Suu Kyi dijebloskan ke dalam penjara karena dianggap berbahaya bagi kelanggengan kekuasaan Junta. Meskipun telah berada di dalam penjara, Suu Kyi dan NLD tetap berjuang untuk menegakkan demokrasi di Myanmar meskipun selalu di bawah ancaman moncong senapan Junta. Perjuangan tanpa henti ini bukannya tanpa hasil meskipun kekuasaan Junta begitu kuat untuk ditumbangkan. Simpati masyarakat internasional mengalir kepada Suu Kyi yang ditahan secara semena-mena dan tanpa belas kasihan.
Begitu buruknya keadaan Myanmar saat ini, negeri ini bagaimanapun juga pernah mengalami saat-saat demokrasi menjadi sistem tata kelola pemerintahan. Demokrasi pernah bersemi mulai tahun 1948, yakni saat Inggris memberikan kemerdekaan hingga tahun 1962 saat sebelum Junta militer mulai berkuasa melalui kudeta. Pada tahun-tahun ini pemerintah dipilih rakyat berdasarkan konstitusi negara dan semua pihak tunduk pada hasil pemilu. Ketika Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan pemerintah yang berkuasa mengenai hasil pemilu, pemerintah bisa menerimanya. Pada masa ini militer sempat berkuasa selama 16 bulan (1958-1960) di bawah komando Jenderal Ne Win, namun Ne Win kemudian tunduk pada konstitusi dan mengadakan pemilu tahun 1960. Meskipun partai politik yang disukai militer tidak menang dalam pemilu, militer menerima hasilnya dan kembali ke barak. Tindakanbenevolent Jenderal Ne Win ini hanya sebentar saja, karena tahun 1962 ia memimpin kudeta yang menempatkan Junta berkuasa hingga hari ini.
Junta berkuasa dengan sangat represif tanpa mengindahkan hak asasi manusia. Pemberontakan etnis Karen, etnis minoritas terbesar kedua setelah Shan, dihadapi dengan brutalisme tanpa ampun yang telah merenggut ribuan jiwa. Kebebasan berpendapat dibatasi, begitu juga dengan hak-hak sipil lainnya. Semua ini dilakukan Junta untuk meredam gerakan prodemokrasi yang kian hari semakin berani ditunjukkan oleh warga. Junta berusaha menyimpan rapat semua rahasia negara yang dianggap bisa membahayakan Junta, termasuk tempat penyelenggaraan pemerintahan.
Yang tidak kalah mengejutkan dunia internasional adalah langkah Junta memindahkan ibu kota negara dari Yangon ke Naypyidaw, sebuah kota di tengah hutan belantara sekitar 320 kilometer sebelah utara Yangon, pada bulan November 2005. Beberapa teori menyebutkan bahwa langkah pemimpin Junta Jenderal Than Shwe ini merupakan respons terhadap semakin gencarnya kampanye militer Amerika menggulingkan pemerintahan yang tidak demokratis seperti Saddam Hussein di Irak dan Taliban di Afganistan. Naypyidaw dianggap daerah yang relatif aman bagi pertahanan militer Myanmar bila tiba-tiba terjadi agresi yang tidak diinginkan.
Dari semua pembicaraan negatif mengenai Junta Myanmar, yang patut disayangkan adalah langkah ASEAN menerima keanggotaan Myanmar menjadi anggota organisasi regional ini bersama Laos tahun 1997. ASEAN tahu persis bahwa Myanmar adalah negara otoriter di bawah Junta militer, namun para pemimpin ASEAN pada waktu itu bersikukuh bahwa ASEAN menganut prinsip “non-interference” atau tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Kini terbukti prinsip ini semakin ketinggalan zaman di tengah globalisasi komunikasi dan informasi yang dengan segera bisa mengubah lanskap politik internasional.
Di samping PBB, masyarakat internasional kini menaruh harapan besar pada ASEAN untuk memainkan peran dalam mendorong demokratisasi di Myanmar. Bila ASEAN tidak menunjukkan kinerja yang baik dalam meyakinkan Junta bahwa demokrasi Myanmar akan menopang stabilitas di kawasan, organisasi regional ini semakin hari akan semakin menjadi bahan cemoohan yang menyebut ASEAN sebagai organisasi tempat “kongkow-kongkow” segelintir diplomat yang kurang kerjaan.

2.3.    Prospek Demokrasi di Myanmar “Rezim Militer dan Sipil”
Hubungan militer dan sipil merupakan suatu permasalahan klasik di beberapa negara, terutama di negara yang rapuh dimana kondisi sosial, ekonomi dan politiknya cenderung tidak stabil. Dalam keadaan pemerintahan sipil tidak lagi mampu mengelola permasalahan negaranya, militer cenderung untuk masuk dalam politik demi menstabilkan keadaan. Hal ini dapat kita lihat di Myanmar ketika Jendral Ne Win menyingkirkan pemerintahan yang berkuasa dan membentuk pemerintahan militer.
Sudah 40 tahun lebih kelompok militer menguasai kehidupan politik, sosial, dan ekonomi rakyat Myanmar. Sejak Jenderal Ne Win sampai Jenderal Than Shwe rezim militer menjalankan kebijakan yang sama yakni memberangus nilai-nilai demokrasi dan menggantikannya dengan tatanan yang bersifat sentralistik dan otoriter. Setiap gerakan demokrasi yang muncul sudah pasti mendapat perlawanan dari rezim yang berkuasa. Secara sistematis rezim militer mampu melemahkan berbagai gerakan oposisi yang muncul dari masyarakat sipil.
Samuel P. Huntington, dalam bukunya yang berjudul The Third Wave: Democratization in the Late Twentienth Century (1991) mencatat tahun 1974 hingga 1990-an sebagai gelombang ketiga demokrasi dunia. Huntington melihat peristiwa kudeta oleh sekelompok perwira muda dalam gerakan Movimento das Forcas Armadas (MFA) di Portugal yang berhasil menggulingkan diktator Marcello Caetano sebagai awal periode gerakan ke arah demokrasi di seluruh dunia yang kemudian dikenal sebagai gelombang ketiga demokratisasi dunia (Huntington, 1991: 4 ).
Gerakan menuju demokratisasi di Portugal tahun 1974 tersebut kemudian juga diikuti oleh serangkaian gerakan demokrasi di berbagai belahan dunia. Selama 15 tahun berikutnya, gelombang demokratisasi ini berlingkup global di mana sekitar 30 negara telah bergeser dari otoriterisme menjadi demokrasi dan sekurangnya 20 negara lain telah dipengaruhi oleh gelombang demokratisasi ini. Kasus Korea Selatan, Thailand, Philipina, dan bahkan Indonesia dapat dijadikan contoh bagaimana tumbangnya rezim otoriter di belahan dunia ketiga.
Rasa optimisme yang cukup kental menyebar pada berbagai kalangan pengamat politik internasional mengenai cerahnya prospek demokratisasi di dunia. Tumbangnya Uni Soviet dan para penguasa totaliter di Eropa Timur pada awal tahun 1990-an meyakinkan para pengamat bahwa gelombang demokratisasi yang melanda seluruh belahan dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat mungkin dibendung.
Optimisme terhadap masa depan demokratisasi di dunia ternyata tidak berjalan mulus dan berubah menjadi rasa pesimis ketika ternyata beberapa negara mengalami kegagalan demokrasi, khususnya yang dilakukan oleh kelompok militer. Salah satu dari negara tersebut adalah Myanmar yang dikaji secara mendalam dalam tulisan ini.
Sebagai negara yang masih dikuasai rezim militer, bukan berarti tidak ada gerakan demokrasi di negara ini. Seberapa pun derasnya arus demokrasi melanda negara ini, pemerintahan militer yang berkuasa semakin keras pula membendung gerakan itu, contohnya adalah penolakan militer terhadap hasil pemilu tahun 1990 yang menempatkan Aung San Suu Kyi bersama partainya National Leaque for Democratic (NLD) sebagai pemenang. Berkuasanya kembali pemerintahan militer pada tahun 1990 ini bukanlah merupakan hal yang ìbarui, karena sesungguhnya ia merupakan kelanjutan dari pemerintahan militer sebelumnya yang telah berkuasa sejak tahun 1962.
Ketika Myanmar merdeka pada tahun 1948 (waktu itu bernama Burma), di bawah pemerintahan sipil U Nu, ia mencoba menjalankan pemerintahan yang demokratis dengan menerapkan sistem parlementer. Sebagaimana halnya negara yang baru merdeka, pemerintahan U Nu juga dihadapkan pada keadaan sosio-politik yang rumit. Dengan strategi pembangunan Pydawtha (negara yang makmur), U Nu berusaha keras menyelesaikan berbagai persoalan dalam negerinya. Strategi tersebut pada akhirnya gagal mengatasi berbagai persoalan kompleks yang muncul, baik yang berkenaan dengan aspek perekonomian, pembelotan, maupun pemberontakan (Steinberg, 1982 : 45).
Keterlibatan militer dimulai ketika Jenderal Ne Win ditugaskan untuk mengendalikan ketertiban dan mempersiapkan pemilu 1960. Pemerintahan militer, saat itu, berhasil memulihkan keadaan dalam negeri sampai terselenggaranya pemilu tahun 1960 yang dimenangkan oleh U Nu dan partainya, Union Party. Pihak militer kemudian mengultimatum pemerintah sipil dengan memberikan waktu selama 2 tahun untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Myanmar. Karena pemerintah sipil tidak dapat menata kembali kondisi dalam negeri Myanmar, yang semakin diperparah dengan kegagalan U Nu dalam menata sistem perekonomian dan administrasi Myanmar, maka timbul ketidakpuasan di kalangan pro-militer dan militer. Akhirnya pada tanggal 2 Maret 1962, militer melakukan kudeta di bawah pimpinan Jenderal Ne Win.
Keberhasilan kudeta atas PM U Nu pada tahun 1962 itu bisa dikatakan sebagai awal keruntuhan demokrasi di Myanmar. Selama masa pemerintahannya (1962-1988) Ne Win hanya mengakui satu partai politik, yaitu Burmese Socialist Program Party (BSPP) yang dibentuknya sendiri. BSPP atau yang lebih dikenal dengan Partai Lenzin ini bisa dikatakan sebagai partai tunggal yang dilaksanakan untuk mendukung program sosialis dengan mayoritas anggota berasal dari golongan militer. Sejak berdiri tahun 1962 dan disahkan tahun 1964 keanggotaan partai ini didominasi oleh militer. Pada tahun 1972 militer menjadi pilar pokok dari partai (Taylor, 1980 : 40).
Keterlibatan militer dalam penggagalan demokrasi kembali dilakukan pada tahun 1990. Ketika itu Jenderal Saw Maung membatalkan hasil pemilu 27 Mei 1990 yang menempatkan National Leaque for Democration (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi sebagai pemenang pemilu. Sampai saat ini, di bawah Jenderal Than Shwe, militer sangat kuat mengendalikan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi rakyat Myanmar. Begitu kuatnya peran militer sehingga David I. Steinberg menempatkan Myanmar sebagai “The most monolithically military-controlled in the worldi” (Neher, 1995:121).
Menurut Huntington, ketika militer melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil maka kemudian pemerintah militer harus memilih antara mempertahankan kekuasaan atau mengembalikannya kepada politisi sipil; dan antara memperluas partisipasi politik kelompok-kelompok masyarakat atau membatasinya (Huntington, 1968: 233-237), dengan demikian, pimpinan rezim militer dihadapkan pada 4 pilihan :
    Mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi.
    Mempertahankan kekuasaan dan memperluas partisipasi.
    Mengembalikan kekuasaan dan membatasi partisipasi.
    Mengembalikan kekuasaan dan memperluas partisipasi.
Dalam kasus Myanmar, untuk melihat kebijakan mana yang diambil oleh rezim militer tidaklah susah. Dengan melihat kebijakan yang diterapkan rezim militer pimpinan Jenderal Ne Win (1962-1988) dan rezim militer pimpinan Jenderal Saw Maung pasca 1988 kita dapat melihat dengan jelas bahwa rezim tersebut memilih kebijakan mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi.
Pada masa Ne Win misalnya, segera setelah ia melakukan kudeta atas pemerintahan sipil pimpinan Perdana Menteri U Nu tahun 1962, ia mendirikan pemerintahan otoriter dan memerintah dengan gaya diktator (Steinberg, 1982: 33-35). Rakyat tidak diperkenankan untuk memilih pimpinannya sendiri, karena keputusan politik harus melalui pimpinan militer di Rangoon. Burmese Socialist Program Party (BSPP), pimpinan jenderal Ne Win, menjadi satu-satunya partai resmi yang berdiri. Oposisi datang dari penjuru perkotaan dan pedalaman, tetapi selalu gagal karena pihak oposisi tidak memiliki pemimpin kharismatik dan lemahnya masyarakat sipil Myanmar.
Ketika Myanmar di bawah pemerintahan militer pimpinan Jenderal Saw Maung mengambil alih kekuasaan pada 18 September 1988 (Sulistiyanto, 1993: 78), watak otoriterisme pendahulunya diwarisi oleh pemerintahan ini. Kudeta tahun 1988 ini dalam kenyataannya tidak dapat diartikan sebagai adanya pergantian kekuasaan di Myanmar. Hal ini semata-mata pergantian pemerintahan militer yang ìlamai menjadi pemerintahan militer yang ìbarui, dari BSPP menjadi The State Law and Order Restoration Council (SLORC). Pada dasarnya kekuasaan pemerintahanan tetap berada di tangan militer. Sebagaimana pendahulunya, pemerintahan militer Jenderal Saw Maung juga memimpin negara dengan otoriter. Banyak bukti menunjukkan hal itu, misalnya penolakan SLORC terhadap hasil pemilu tanggal 27 Mei 1990. Seperti diketahui pada pemilu ini partai NLD berhasil merebut 392 dari 485 kursi di parlemen nasional. Hasil ini sesungguhnya di luar prediksi militer. Sebelumnya SLORC merasa yakin bahwa partai pemerintah, National Unity Party (NUP), akan memenangkan pemilu. Di sinilah sifat otoriter militer muncul. Berbagai protes rakyat dihadapi dengan tindakan represif oleh militer. Di penghujung tahun 1991 SLORC mulai melancarkan kampanye intensif untuk menghancurkan kekuatan oposisi di wilayah perkotaan maupun di kalangan etnis minoritas. Praktis tindakan SLORC ini semakin melemahkan posisi sipil dalam kancah perpolitikan di Myanmar. Sampai saat ini, di bawah pemerintahan Jenderal Than Shwe, meskipun SLORC diganti menjadi The State Peace Development Council (SPDC), pada kenyataannya lembaga ini tetap menjalankan fungsi-fungsi lembaga sebelumnya yaitu mengontrol kehidupan sosial politik rakyat Myanmar.
Menurut Sundhaussen, untuk menentukan keputusan mana yang hendak dipakai tidak bisa hanya tergantung pada kecenderungan atau kemauan bebas dari pimpinan. Sundhaussen kemudian mengembangkan dalil Finer bahwa keberhasilan intervensi militer tergantung pada faktor internal dan eksternal yang sesuai, yang mencakup tidak hanya masuknya militer ke dalam politik tetapi juga keluarnya militer dari dalam politik. Maka, memilih di antara pilihan yang ada juga tergantung pada faktor internal dan faktor eksternal militer yang sesuai, mencakup tidak hanya masuknya militer ke dalam politik tetapi juga keluarnya militer dari dalam politik, maka memilih di antara pilihan yang ada juga tergantung pada faktor internal dan faktor eksternal militer.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Dari uraian pembahasan tentang Myanmar dapat diambil beberapa kesimpulan seperti, Myanmar atau Burma merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, yang dalam hal tertentu memiliki kesamaan dengan negara-negara lain yang ada di kwasan Asia Tenggara. Dalam berbagai media sering dikatan bahwa Burma merupakan India di Asia Tenggara dan merupakan jajahan Inggris yang paling terbelakang.
Setiap negara tak terkecuali Myanmar pasti mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan sejarah Myanmar merupakan suatu perjalanan sejarah yang penuh dengan intrik-intrik politik kepentingan yang dijalankan pihak militerisme yang hanya mementingkan kepentingan golongan sendiri. Dalam perkembangannya setelah kemerdekaan kebijakan-kebijakan pemimpin Myanmar pada masa militer masih berkuasa banyak menciptakan suasana interen yang sangat buruk. Tertutupnya Myanmar terhadap dunia luar pada awalnya mnjadikan Myanmar sebagai negara yang terbelakang. Akan tetapi seiring berjalannya perkembangan dunia yang mau tidak mau setiap bangsa dan negara akan terkena imbasnya tidak terkecuali Myanmar, kondisi ini ditandai dengan keikutsertaan negara Myanmar  dalam berbagai organisasi Internasional seperti masuknya Myanmar kedalam anggota ASEAN pada 23 juli 1997 dan menjadi anggota yang ke-9. Tapi dalam berbagai organisasi diluar kawasan Asia Tenggara Myanmar sangat aktif seperti menjadi ikut dalam Konferensi Asia Afrika (KAA), Negara Non-Blok dan pada organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa  (PBB) dan UNO (United Nations Organitation), dan perwakilan dari Myanmar pernah menjadi sekretaris jendral PBB yaitu U That pada periode 1961-1971. Namun dalam perkembangan  dasa warsa terakhir ini Myanmar semakin membuka diri terhadap negara-negara Asia Tenggara, banyak kerjasama baik hubungan Bilateral maupun multirateral dilakukannya.


3.2 Saran
Kondisi Myanmar ketika Junta militer berkuasa di negara tersebut merupakan suatu kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia ketika rezim Orde Baru pernah berkuasa di negeri ini. Kondisi kebangsaan seperti ini sebenarnya tidak akan mengalami perubahan apabila tidak adanya keberanian sebagian rakyat dalam melakukan suatu pergerakan yang akan memberikan perubahan yang bisa dirasakan oleh semua rakyat.




DAFTAR PUSTAKA


Abdulgani, H. Roeslan. 1978. Asia Tenggara di Tengah Raksasa Dunia. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.

Groslier, Bernadrd Philippe. 2007. INDOCINA ‘Persilangan Kebudayaan’.Bogor: Grafika Mardi Yuana.

Hall, D. G. E.. 1977. A History Of South East Asia. London: The Macmillan Press LTD.

Huntington, Samuel P. 1991. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press.

Neher, Clarck D. 1995. Democracy and Development in Southeast Asia. Colorado: Westview Press.

Reid, Anthony. 2004. Sejarah Moderen Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Soebantardjo. 1960. Sari Sejarah ‘Asia-Australia’. Jogjakarta: Bopkri.

Steinberg, I. David. 1982. Burma: a Socialist Nation of Southeast Asia. Colorado: Westview Press.

Sulistiyanto, Priyambudi. 1993. Revolusi yang Tertunda. Jakarta : Prisma.

Taylor, Robert H. 1980. Burma, dalam Harold Crouch “Military Civilian Relation in Southeast Asia”. Singapore: Koon Wah Printing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar