Selasa, 19 April 2011

SEJARAH ASIA TENGGARA - MYANMAR

BAB I
PENDAHULUAN


I.I. Latar Belakang
Burma atau Myanmar adalah salah satu negara yang terletak di Asia Tenggara. Burma terletak diwilayah daratan Asia Tenggara (Mindland) yaitu di ujung timur kawasan Asia Tenggara. Secara Astronomis Burma (Myanmar) terletak pada 9,85o LU-28,29o LU dan 92,11o BT-101,10o BT. wilayah Burma berbatasan dengan negara-negara India disebelah barat, Thailand disebelah timur, Cina dan India disebelah utara, Teluk Benggala dan Lautan Hindia disebelah selatan. Dalam berbagai media sering dikatan bahwa Burma merupakan India di Asia Tenggara dan merupakan jajahan Inggris yang paling terbelakang.
Myanmar terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda yang dipersatukan oleh suatu proses perjalanan sejarah yang panjang. Suku bangsa yang mendiami wilayah Myanmar adalah suku bangsa Pyu, Mons, Karen, Shan (bangsa Siam) dan Kachin (dibagian utara) (Soebantardjo, 1960:66). Jumlah penduduk Myanmar sebesar 49,2 juta jiwa  (2003) dengan kepadatan penduduk 73 jiwa/Km dan pertumbuhan penduduk sebesar 1,4% per tahun. Sebagian besar penduduk Myanmar tinggal di Pedesaan dan hidup dari pertanian, sehingga ekonomi Myanmar bertumpu pada sektor pertanian, dan kegiatan perekonomian lain seperti Jasa, Industri dan pertambangan. Myanmar memiliki cukup banyak hasil tambang, meliputi Minyak bumi, Emas, Timbal, Tembaga dan Timah.
Suatu negara selalu memiliki perjalanan sejarah yang membentuk negara yang bersatu, begitu juga dengan Myanmar. Zaman Prasejarah Myanmar tidak begitu banyak diketahui karena terbatasnya bukti-bukti yang ada, sebagian besar masyarakat Myanmar dipengaruhi oleh budaya India yang ditandai dengan mayoritas masyarakatnya menganut agama Budha. Sehingga Myanmar pernah disatukan oleh Inggris dengan wilayah India, namun dalam perkembangannya dipisahkan lagi karena ada sedikit perbedaan dengan India dan letak Geografis yang memisahkannya.
Myanmar pada awalnya merupakan negara yang cukup tertutup dari kawasan Asia Tenggara.  Kondisi ini disebabkan oleh karena mereka merasa berbeda dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti halnya budaya, sebab budayanya sangat kental dengan budaya India. Akan tetapi seiring berjalannya perkembangan dunia yang mau tidak mau setiap bangsa dan negara akan terkena imbasnya tidak terkecuali Myanmar, kondisi ini ditandai dengan keikutsertaan negara Myanmar  dalam berbagai organisasi Internasional seperti masuknya Myanmar kedalam anggota ASEAN pada 23 juli 1997 dan menjadi anggota yang ke-9. Tapi dalam berbagai organisasi diluar kawasan Asia Tenggara Myanmar sangat aktif seperti menjadi ikut dalam Konferensi Asia Afrika (KAA), Negara Non-Blok dan pada organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa  (PBB) dan UNO (United Nations Organitation), dan perwakilan dari Myanmar pernah menjadi sekretaris jendral PBB yaitu U That pada periode 1961-1971. Namun dalam perkembangan  dasa warsa terakhir ini Myanmar semakin membuka diri terhadap negara-negara Asia Tenggara, banyak kerjasama baik hubungan Bilateral maupun multirateral dilakukannya.

I.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang mengenai Myanmar yang telah disampaikan di atas, ada beberapa permasalahan-permasalahan yang kiranya perlu memperoleh pembahasan lebih lanjut. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat disumuskan sebagai berikut :
I.2.1. Bagaimanakah perjalanan sejarah Myanmar ?
1.2.2. Seperti apakah gambaran Myanmar pada era Junta militer ?
I.2.3. Bagaimanakah Prospek Demokrasi di Myanmar “Rezim Militer dan Sipil” ?

1.3. Tujuan Masalah
Dari penjabaran rumusan masalah di atas, diharapkan akan terpenuhinya tujuan dari masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun tujuan masalahnya disini adalah sebagai berikut :
1.3.1. Untuk mengetahui perjalanan sejarah Myanmar.
1.3.2. Untuk mengetahui gambaran Myanmar pada era Junta militer.
1.3.3. Untuk mengetahui Prospek Demokrasi di Myanmar  “Rezim Militer dan  Sipil”.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perjalanan Sejarah Negara Myanmar
Suatu bangsa tentu memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang dalam menemukan jati diri bangsa yang ideal untuk prospek eksistensi bangsa tersebut kedepannya, begitu juga dengan Myanmar yang akan dibahas dalam makalah ini. Selanjutnya untuk lebih memudahkan dalam pembahasan mengenai perjalanan sejarah Myanmar perlu diadakan suatu pembagian atau periodisasi, adapun pembabakannya ialah sebagai berukut :
2.1.1    Zaman Prasejarah
Zaman prasejarah Myanmar atau Burma tidaklah berbeda dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Alat-alat khas Asia Tenggara yang muncul pertama kali pada kala pleistosen tengah, alatnya berupa lempengan batu yang diasah pada satu sisi yang sering disebut kapak, buktinya pernah ditemukan didataran tinggi Burma  yang dikaitkan dengan periode zaman Es  (Groslier, 2007:39). Dilihat dari temuan diwilayah Burma, sejak zaman prasejarah telah dihuni manusia, jika dilihat dari wilayah lainya seperti Jawa yang menghasilkan alat yang seperti itu adalah Homo Wajakensis sehingga di Burma juga hidup species yang sama seperti di Jawa, maka kehidupan prasejarah di Burma tidaklah berbeda dengan di wilayah Asia Tenggara lainnya. System “Primus Interpares” sangatlah kuat dan kehidupan bercocok tanam (Neolitikum) berkembang pesat dikawasan sepanjang lembah sungai Irawady dan sungai-sungai lainnya.
2.1.2 Zaman Proto-Sejarah
Sekitar abad I sampai II masehi  dimulailah perdagangan Laut antara India dan Cina. Perdagangan lewat Laut ini membutuhkan suatu tempat berlabuh karena keterbatasan alat Navigasi dan untuk mencari bahan logistik awak Kapal sekaligus melakukan kontak dagang dengan masyarakat ditempat berlabuh. Dilihat dari letak geografis Myanmar yang terletak dijalur pelayaran tersebut membuat terjadinya kontak antara masyarakat Myanmar dengan para pedagang terutama yang berasal dari India. Kontak dengan pedagang India ini membuat terjadinya kontak budaya. Kontak ini terutama terjadi diwilayah pantai Myanmar. Para pedagang mendirikan Kerajaan-kerajaan kecil dan menyebabkan masuknya peradaban India di Myanmar sekaligus membuat bangsa Myanmar memasuki zaman sejarah karena mulai dikenalnya tulisan yang mereka pelajari dari bangsa India termasuk mulai berkembangnya Ajaran Agama Budha di Myanmar  (Soebantardjo, 1960:67).
2.1.3    Zaman Kebangsaan atau Babak Perebutan Kekuasaan Tunggal
Sesudah masuknya pengaruh India di Myanmar, pada tahun 1044 berdirilah kerajaan Pagan yang cukup terkenal dan menguasai seluruh wilayah Myanmar. Kerajaan Pagan didirikan oleh Anawratha (1044-1077). Corak dasar kerajaan Pagan adalah “Hinduisme” atau “Hinduized” atau juga “Hindic” yang artinya kerajaan yang dipengaruhi budaya atau peradaban India  (Abdulgani, 1978:15).
Kerajaan Pagan berkuasa di Myanmar sekitar 2,5 abad. Kerajaan Pagan memiliki hubungan yang sangat erat dengan kerajaan di Srilangka yang menyebabkan kuatnya pengaruh Budha Hinayana di Myanmar. Kerajaan ini hancur karena serangan Tiangkok (Cina) dibawah pimpinan Kubhilai Khan pada tahun 1287 dan menyebabkan masuknya bangsa Shan (sebangsa dengan Siam) yang menghancurkan sisa-sisa kerajaan Pagan. Hal ini menyebabkan Myanmar kembali terpecah menjadi beberapa kerajaan meliputi Pegu, Toungoo, Ava, Arakan  (Chittagong)  (Soebantardjo, 1960:67).
Hancurnya kerajaan Pagan yang membuat terpecahnya kembali Myanmar tidak terjadi dalam waktu lama karena Myanmar kembali dipersatukan oleh kerajaan Toungoo dibawah pimpinan raja Tabin Shwehti (1531-1550), dia adalah orang pertama yang mendapat gelar Raja Burma  (1546), Penggantinya adalah Baying Naung (1551-1581) ia berhasil melakukan perluasan kekuasaann sampai ke Siam  (1563). Kerajaan Tounggo terus mengalami kemunduran dan akhirnya  Kerajaan Toungoo berakhir pada tahun1600.


2.1.4    Zaman Pertemuan dan Perebutan Kekuasaan Tunggal Secara Internasional
Kerajaan Toungoo mengalami keruntuhan karena tidak bisa menjaga eksistensi kekuasaannya diwilayah Myanmar. Sebagai ganti dari keberadaan kerajaan Toungoo muncullah kerajaan Ava pada tahun 1752 dengan rajanya Alaungpaya yang kemudian menjadi peletak dasar bagi keberadaan kerajaan Birma  (Soebantardjo, 1960:68). Dalam satu tahun kerajaan Ava dibawah raja Alaungpaya telah berhasil menyatukan Myanmar dengan bantuan dari Inggris. Bantuan yang diberikan Inggris terhadap Alaungpaya dengan tujuan menghalangi Francis karena meluaskan pengaruhnya ke Barat, dengan mengkonsolidir Birma untuk menjadikan benteng bagi Inggris di India. Pengganti-pengganti Alaungpaya memiliki kedudukan semakin kuat dan bersifat ekspansif. Kekuasaan kerajaan Birma (Ava) sampai di daerah Siam yang ditaklukan pada 1793. Kerajaan Birma tidak puas dan akhirnya menyerang India, serangan ke India sampai diwilayah Manipur, Assam, dan Kachar. Serangan kerajaan Burma ini dibawah pimpinan Raja Bodawpaya  (1781-1819) dan Raja Bagyidaw  (1819-1837).  Serangan kerajaan Burma ini menyebabkan terjadinya peperangan dengan Inggris. Adapun peperangan antara Inggris dengan kerajaan Burma adalah sebagai berikut:
1.    Perang Burma I  (1824-1826)
Sebab dari perang ini adalah karena kerajaan Burma dibawah raja Bagyidaw menyerang Benggal, Manipur dan Assam (1923) yang merupakan daerah kekuasaan Inggris diwilayah India. Angkatan perang Inggris dibawah pimpinan Jendaral Campbell menyerang Rangoon. Pasukan Burma mengalami kekalahan karena persenjataan yang tidak sehebat pasukan Inggris. Perang ini akhirnya dimenangkan oleh Inggris dan terciptalah suatu perjanjian perdamaian yang disebut perjanjian “Yandabu” adapun isinya adalah sebagai berikut :
I.    Burma harus membayar kerugian perang.
II.    Burma harus menerima perjanjian perdagangan yang sangat merugikan.
III.    Assam, Arakan dan Tenasserim diambil Inggris.
IV.    Di Ava (Ibukota kerajaan Burma) ditempatkan resident Inggris untuk mengawasi kepentingan Inggris.
2.    Perang Burma II  (1852-1853).
Sebab perang ini karena Raja Burma Pagan Min  (1846-1852) menghalangi perdagangan Inggris di Burma. Perang ini diawali dengan serangan Inggris dibawah jendral Godwin dengan menduduki Rangoon dan kemudian Pegu. Raja Pagan Min turun tahta dan digantikan oleh raja Mindon Min (1853-1878) yang menyerah pada Inggris. Perang ini menyebabkan hancurnya kekuatan kerajaan Burma karena semua wilayah yang sangat strategis telah dikuasai oleh Inggris yaitu sepanjang Sungai Irawady dan kerajaan Burma memindahkan Ibukotanya ke Mondalay  (1857).
3.    Perang Burma III  (1883)
Tampaknya kerajaan Burma mengetahui jika antara Inggris dan Francis merupakan musuh bebuyutan, sehingga raja Burma Thibaw memanfaatkan hal itu dengan melakukan hubungan rahasia dengan Francis untuk membantunya memperoleh kemerdekaan Burma. Hal ini diketahui sehingga menimbulkan kemarahan Inggis yang kemudian menyerang pusat kerajaan Burma di Mandalay dengan angkatan Lautnya dibawah pimpinan jendral Prendergast, serangan ini dilakukan dengan menyusuri sungai Irawady dan kemudian menyerang Ibukota kerajaan. Raja Thibaw menyerah dan diasingkan ke India oleh Inggris, ia merupakan raja Burma yang terakhir setelah itu Burma resmi menjadi jajahan Inggris pada tahun1886.
4.    Imperialism Inngris di Burma  (1886-1948)
Sejak jatuhnya kerajaan Burma, wilayah ini secara langsung menjadi wilayah koloni Inggris. Inggris memiliki basis kolonial di India yang dekat dengan Burma yang memiliki budaya yang mirip sehingga antara Burma dan India dijadikan satu. Burma ditetapkan menjadi bagian dari Provinsi India. Semua peraturan yang diberlakukan di India juga berlaku di Burma.  Meskipun sering tidak sesuai dengan keadaan di Burma (Soebantardjo, 1960:70). Sejak Inggris berkuasa di Burma terjadi banyak perubahan dimana semakin modernnya masyarakat walaupun sering menyebabkan konflik dimasyarakat. System pertanian semakin baik begitu juga dengan sarana perhubungan walaupun itu semua demi kepentingan Inggris tapi masih bisa dinikmati masyarakat.
2.1.5    Zaman Pergerakan Kemerdekaan dan Proklamasi Burma
a.    Munculnya Nasionalisme di Burma
Munculnya suatu gerakan nasional tentu dipengaruhi oleh berbagai sebab, adapun sebab-sebab gerakan nasionalisme Burma adalah sebagai berikut :
1.    Pada hakekatnya bangsa Burma tidak kehilangan rasa kebangsaannya, walaupun telah menjadi jajahan Inggris, semangat kebangsaan Burma belum hilang.
2.    Kemenangan Jepang atas Rusia  (1905) yang memperkuat nasionalisme di India, yang juga berpengaruh bagi nasionalisme di Burma karena menjadi satu wilayah dengan India.
3.    Perundingan-perundingan dalam perdamaian Versailles dimana Wilson memperjuangkan hak menentukan nasibnya sendiri  (self determination) bagi bangsa-bangsa yang belum merdeka.
4.    Montagu-Chelmsford Reform yang hanya berlaku di India tidak di Burma.
Jadi gerakan nasionalisme Burma dimulai setelah perang dunia I, yaitu setelah Montagu-Chelmsford tidak berlaku di Burma sehingga meresahkan masyarakat. Gerakan ini dimulai pada tahun 1919 dibawah organisasi GCBA  (the general council of Buddhist associations), organisasi ini merupakan kesatuan aksi nasionalisme Burma yang menentang kolonialisme Inggris. Akhirnya Inggris membuat kebijakan baru berdasarkan penelitian dari Panitya Simon Commision yang hasilnya adalah :
1.    Burma dipisahkan dari India dan menjadi negara sendiri.
2.    Harus dibentuk UUD bagi Burma.
Dengan menindak lanjuti usulan itu maka keluarlah keputusan Inggris yang disebut “the government of Burma Act” yang isinya adalah sebagai berikut : Burma dipisahkan dari India dan menjadi koloni tersendiri dengan ketentuan :
a.    Kepala negara seorang Gubernur Inggris dengan kekuasaan eksekutif.
b.    Kekuasaan legislative dipegang oleh parlemen yang anggotanya dipilih rakyat Burma.
c.    Daerah Shan, Karenni, Kachin, Chin merupakan “excluded areas” yang diperintah langsung oleh gubernur. Perlemen Burma tidak memiliki hak untuk daerah ini.
d.    Gubernur memiliki hak Veto.
e.    The Geverment of Burma ini berlaku pada tahun 1937.
Kebijakan ini tidak banyak membawa perubahan karena kekuasaan gebernur masih sangat tinggi. Namun ada beberapa kebijakan parlemen yang menguntungkan yaitu:
1.    Melakukan perubahan agraria seperti sewa tanah dan pembagian tanah pada masyarakat.
2.    Mengadakan pembatasan Imigrasi dari India yang selama ini meresahkan masyarakat Burma karena mengambil alih mata pencarian mereka.
b.    Organisasi gerakan nasionalisme Burma
Ada banyak organisasi pergerakan di Burma yang memiliki tujuan masing-masing yaitu seperti:
1.    General Council of Buddhist Association  (GCBA)
2.    Sinyetha  (partai rakyat miskin)
Didirikan dan dipimpin oleh Dr Ba Maw. Partai ini menghendaki perbaikan nasib rakyat jelata dan dalam politiknya partai ini bekerja sama dengan partai Conggres India. Dr ba Maw mengabungkan diri dengan Jepang dan menjadi presiden Burma bentukan Jepang
3.    Myohit  (partai nasionalis)
Didirikan oleh U Saw, partai ini menghendaki status dominion bagi Burma. U Saw adalah orang yang anti Inggris dan Pro Jepang sehingga pada perang dunia II di penjarakan inggris. Ia merupakan dalang dari pembunuhan U Aung San pada tahun 1947.
4.    Dobama Asiayone  (kita bangsa Burma)  (partai Thakin)
Thakin artinya tuan, keanggotaan partai ini adalah kaum muda seperti mahasiswa dan para pelajar. Partai ini bersifat revolusioner, patriotis dan sosialis yang menuntut kemerdekaan penuh Burma. Pada saat perang dunia berlangsung partai ini bekerjasama dengan Jepang. Tapi setelah pemerasan Jepang mereka berbalik melawan Jepang dengan membentuk The anti-fascist people freedom league  (AFPFL) pada tahun1944, dibawah pimpinan U Aung San sehingga Jepang lebih mudah dikalhkan oleh Inggris.
c.    Kemerdekaan Burma  (4 januari 1948)
Saat Jepang menyerah Inggris mulai masuk ke Burma namun mendapat perlawanan dari Aung San. Untuk menghindari peperangan besar maka diadakan perundingan antara Aung San, lemahnya Inggris disebabkan terjadinya konflik antara golongan militer dibawah jendral Sir Hubert Rance dengan golongan sipil dibawah Dorman-Smith. Setelah itu inggris mengembalikan U Saw dengan tujuan memecah belah keduanya tapi gagal. Saingan U Aung San adalah Than tan dari partai komunis yang kemudian dikeluarkan dari AFPFL. Kemudian Aung San melakukan perundingan dengan inggris yang  pada tanggal 27 januari 1947 inggris menjanjikan kemerdekaan setahun kemudian. Namun pada tanggal 19 Juli 1947 ia terbunuh bersama para pemimpin AFPFL oleh U Saw. Aung San digantikan oleh Thakin Nu pada tanggal17 Oktober 1947 dan mengadakan perjanjian dengan inggris yang menetapkan kemerdekaan Burma pada 4 januari 1948 sebagai Republik of the Union of Burma yang terdiri atas Shan state, Kachin State, Karenni State dan the Central Unit.

2.2. Myanmar Pada Era Junta Militer
Perkembangan Myanmar sebagai sebuah negara yang berada di kawasan Asia Tenggara memang tergolong masih terbelakang dibandingkan dengan negar-negara lain yang ada dikawasan tersebut. Kondisi demikian disebabkan oleh faktor primer yang besumber dari dalam negeri. Suasana Atmosfer perpolitikan yang sangat suram merupakan kondisi yang sangat ironis yang membawa Myanmar kepada komerosotan dalam segala bidang.
Fakta membuktikan bahwa proses isolasi yang dijalankan pemerintahan Myanmar demi mempertahankan kekuasaan yang otoriter terbukti kedepannya merupakan suatu tindakan yang salah total. Tahun 1987 Myanmar oleh PBB dikategorikan salah satu dari 10 negara paling terbelakang di dunia. Di sebuah negara tertutup yang dipimpin Junta militer, apa saja bisa terjadi setiap saat. Untuk mengurangi eskalasi kecaman luar negeri terhadap perkembangan politik di dalam negeri, Junta berusaha memblokir arus informasi keluar Myanmar, melarang terbit koran dalam negeri yang tidak sepaham dengan pemerintah, serta tidak memperbolehkan orang asing masuk ke Myanmar. Putusnya jaringan internet untuk berkomunikasi keluar-masuk Myanmar dicurigai disebabkan oleh Junta.
Langkah-langkah pengucilan diri dari dunia luar ini bukanlah hal baru dalam sejarah 45 tahun kekuasaan Junta. Setelah berhasil melakukan kudeta tahun 1962 di bawah komando Jenderal Ne Win, Junta militer segera menunjukkan sikap tidak senangnya terhadap unsur-unsur luar negeri yang bisa merongrong budaya, bahasa, tradisi dan agama bangsa Myanmar. Segera setelah itu Junta mengusir kelompok pedagang imigran Cina dan India yang merupakan penggerak ekonomi negeri itu, dengan alasan hanya sosialismelah yang akan membebaskan ketergantungan ekonomi negara itu dari negara maupun bangsa lain.
Pengusiran imigran India dan Cina merupakan titik balik dari nasionalisme salah kaprah ala Junta militer sejak negeri itu dikuasai oleh Inggris. Untuk mengikis anasir-anasir asing, Junta merasa harus memutar kembali jarum sejarah yang lebih dahulu ditorehkan bangsa Inggris terhadap bangsa Myanmar. Di bawah kekuasaan Inggris, Myanmar adalah negeri kaum imigran yang didatangkan Inggris dari koloninya seperti India, Malaysia dan Singapura. Tahun 1931, sekitar tujuh persen penduduk Myanmar terdiri dari imigran India yang berasal dari Bengal dan Madras. Yangon sendiri, dikenal sebagai kota kaum imigran, sekitar 2/3 penduduknya tahun 1931 merupakan kaum imigran, 53 persen di antaranya adalah imigran India. (Church 2003:108-121).
Namun di bawah Junta, kohesi sosial yang sudah lama terbangun antara imigran dan penduduk asli Myanmar ini diacuhkan begitu saja demi ”nation building” bangsa Myanmar yang salah kaprah. Bagi Junta, sejarah telah bergerak salah arah sehingga harus diluruskan ke tempat seharusnya.
Hal yang sama terjadi tahun 1990 ketika National League for Democracy (NLD) di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi memenangi lebih dari ¾ total jumlah kursi parlemen. Bagi Junta, sekali lagi, ini adalah sejarah yang salah arah. Suu Kyi mestinya tak mampu memenangi pemilu yang dijaga ketat aparat militer. State Law and Order Restoration Council (SLORC), begitu pemerintah Myanmar menamakan diri, sangat yakin akan mampu memenangi pemilu 1990 karena intel-intel Junta telah bekerja “sangat baik” untuk mengontrol warga. Karenanya, karena hasil pemilu bertentangan dengan keinginan Junta, maka hasilnya dinyatakan batal.
Sejak saat itulah Suu Kyi dijebloskan ke dalam penjara karena dianggap berbahaya bagi kelanggengan kekuasaan Junta. Meskipun telah berada di dalam penjara, Suu Kyi dan NLD tetap berjuang untuk menegakkan demokrasi di Myanmar meskipun selalu di bawah ancaman moncong senapan Junta. Perjuangan tanpa henti ini bukannya tanpa hasil meskipun kekuasaan Junta begitu kuat untuk ditumbangkan. Simpati masyarakat internasional mengalir kepada Suu Kyi yang ditahan secara semena-mena dan tanpa belas kasihan.
Begitu buruknya keadaan Myanmar saat ini, negeri ini bagaimanapun juga pernah mengalami saat-saat demokrasi menjadi sistem tata kelola pemerintahan. Demokrasi pernah bersemi mulai tahun 1948, yakni saat Inggris memberikan kemerdekaan hingga tahun 1962 saat sebelum Junta militer mulai berkuasa melalui kudeta. Pada tahun-tahun ini pemerintah dipilih rakyat berdasarkan konstitusi negara dan semua pihak tunduk pada hasil pemilu. Ketika Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan pemerintah yang berkuasa mengenai hasil pemilu, pemerintah bisa menerimanya. Pada masa ini militer sempat berkuasa selama 16 bulan (1958-1960) di bawah komando Jenderal Ne Win, namun Ne Win kemudian tunduk pada konstitusi dan mengadakan pemilu tahun 1960. Meskipun partai politik yang disukai militer tidak menang dalam pemilu, militer menerima hasilnya dan kembali ke barak. Tindakanbenevolent Jenderal Ne Win ini hanya sebentar saja, karena tahun 1962 ia memimpin kudeta yang menempatkan Junta berkuasa hingga hari ini.
Junta berkuasa dengan sangat represif tanpa mengindahkan hak asasi manusia. Pemberontakan etnis Karen, etnis minoritas terbesar kedua setelah Shan, dihadapi dengan brutalisme tanpa ampun yang telah merenggut ribuan jiwa. Kebebasan berpendapat dibatasi, begitu juga dengan hak-hak sipil lainnya. Semua ini dilakukan Junta untuk meredam gerakan prodemokrasi yang kian hari semakin berani ditunjukkan oleh warga. Junta berusaha menyimpan rapat semua rahasia negara yang dianggap bisa membahayakan Junta, termasuk tempat penyelenggaraan pemerintahan.
Yang tidak kalah mengejutkan dunia internasional adalah langkah Junta memindahkan ibu kota negara dari Yangon ke Naypyidaw, sebuah kota di tengah hutan belantara sekitar 320 kilometer sebelah utara Yangon, pada bulan November 2005. Beberapa teori menyebutkan bahwa langkah pemimpin Junta Jenderal Than Shwe ini merupakan respons terhadap semakin gencarnya kampanye militer Amerika menggulingkan pemerintahan yang tidak demokratis seperti Saddam Hussein di Irak dan Taliban di Afganistan. Naypyidaw dianggap daerah yang relatif aman bagi pertahanan militer Myanmar bila tiba-tiba terjadi agresi yang tidak diinginkan.
Dari semua pembicaraan negatif mengenai Junta Myanmar, yang patut disayangkan adalah langkah ASEAN menerima keanggotaan Myanmar menjadi anggota organisasi regional ini bersama Laos tahun 1997. ASEAN tahu persis bahwa Myanmar adalah negara otoriter di bawah Junta militer, namun para pemimpin ASEAN pada waktu itu bersikukuh bahwa ASEAN menganut prinsip “non-interference” atau tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing. Kini terbukti prinsip ini semakin ketinggalan zaman di tengah globalisasi komunikasi dan informasi yang dengan segera bisa mengubah lanskap politik internasional.
Di samping PBB, masyarakat internasional kini menaruh harapan besar pada ASEAN untuk memainkan peran dalam mendorong demokratisasi di Myanmar. Bila ASEAN tidak menunjukkan kinerja yang baik dalam meyakinkan Junta bahwa demokrasi Myanmar akan menopang stabilitas di kawasan, organisasi regional ini semakin hari akan semakin menjadi bahan cemoohan yang menyebut ASEAN sebagai organisasi tempat “kongkow-kongkow” segelintir diplomat yang kurang kerjaan.

2.3.    Prospek Demokrasi di Myanmar “Rezim Militer dan Sipil”
Hubungan militer dan sipil merupakan suatu permasalahan klasik di beberapa negara, terutama di negara yang rapuh dimana kondisi sosial, ekonomi dan politiknya cenderung tidak stabil. Dalam keadaan pemerintahan sipil tidak lagi mampu mengelola permasalahan negaranya, militer cenderung untuk masuk dalam politik demi menstabilkan keadaan. Hal ini dapat kita lihat di Myanmar ketika Jendral Ne Win menyingkirkan pemerintahan yang berkuasa dan membentuk pemerintahan militer.
Sudah 40 tahun lebih kelompok militer menguasai kehidupan politik, sosial, dan ekonomi rakyat Myanmar. Sejak Jenderal Ne Win sampai Jenderal Than Shwe rezim militer menjalankan kebijakan yang sama yakni memberangus nilai-nilai demokrasi dan menggantikannya dengan tatanan yang bersifat sentralistik dan otoriter. Setiap gerakan demokrasi yang muncul sudah pasti mendapat perlawanan dari rezim yang berkuasa. Secara sistematis rezim militer mampu melemahkan berbagai gerakan oposisi yang muncul dari masyarakat sipil.
Samuel P. Huntington, dalam bukunya yang berjudul The Third Wave: Democratization in the Late Twentienth Century (1991) mencatat tahun 1974 hingga 1990-an sebagai gelombang ketiga demokrasi dunia. Huntington melihat peristiwa kudeta oleh sekelompok perwira muda dalam gerakan Movimento das Forcas Armadas (MFA) di Portugal yang berhasil menggulingkan diktator Marcello Caetano sebagai awal periode gerakan ke arah demokrasi di seluruh dunia yang kemudian dikenal sebagai gelombang ketiga demokratisasi dunia (Huntington, 1991: 4 ).
Gerakan menuju demokratisasi di Portugal tahun 1974 tersebut kemudian juga diikuti oleh serangkaian gerakan demokrasi di berbagai belahan dunia. Selama 15 tahun berikutnya, gelombang demokratisasi ini berlingkup global di mana sekitar 30 negara telah bergeser dari otoriterisme menjadi demokrasi dan sekurangnya 20 negara lain telah dipengaruhi oleh gelombang demokratisasi ini. Kasus Korea Selatan, Thailand, Philipina, dan bahkan Indonesia dapat dijadikan contoh bagaimana tumbangnya rezim otoriter di belahan dunia ketiga.
Rasa optimisme yang cukup kental menyebar pada berbagai kalangan pengamat politik internasional mengenai cerahnya prospek demokratisasi di dunia. Tumbangnya Uni Soviet dan para penguasa totaliter di Eropa Timur pada awal tahun 1990-an meyakinkan para pengamat bahwa gelombang demokratisasi yang melanda seluruh belahan dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat mungkin dibendung.
Optimisme terhadap masa depan demokratisasi di dunia ternyata tidak berjalan mulus dan berubah menjadi rasa pesimis ketika ternyata beberapa negara mengalami kegagalan demokrasi, khususnya yang dilakukan oleh kelompok militer. Salah satu dari negara tersebut adalah Myanmar yang dikaji secara mendalam dalam tulisan ini.
Sebagai negara yang masih dikuasai rezim militer, bukan berarti tidak ada gerakan demokrasi di negara ini. Seberapa pun derasnya arus demokrasi melanda negara ini, pemerintahan militer yang berkuasa semakin keras pula membendung gerakan itu, contohnya adalah penolakan militer terhadap hasil pemilu tahun 1990 yang menempatkan Aung San Suu Kyi bersama partainya National Leaque for Democratic (NLD) sebagai pemenang. Berkuasanya kembali pemerintahan militer pada tahun 1990 ini bukanlah merupakan hal yang ìbarui, karena sesungguhnya ia merupakan kelanjutan dari pemerintahan militer sebelumnya yang telah berkuasa sejak tahun 1962.
Ketika Myanmar merdeka pada tahun 1948 (waktu itu bernama Burma), di bawah pemerintahan sipil U Nu, ia mencoba menjalankan pemerintahan yang demokratis dengan menerapkan sistem parlementer. Sebagaimana halnya negara yang baru merdeka, pemerintahan U Nu juga dihadapkan pada keadaan sosio-politik yang rumit. Dengan strategi pembangunan Pydawtha (negara yang makmur), U Nu berusaha keras menyelesaikan berbagai persoalan dalam negerinya. Strategi tersebut pada akhirnya gagal mengatasi berbagai persoalan kompleks yang muncul, baik yang berkenaan dengan aspek perekonomian, pembelotan, maupun pemberontakan (Steinberg, 1982 : 45).
Keterlibatan militer dimulai ketika Jenderal Ne Win ditugaskan untuk mengendalikan ketertiban dan mempersiapkan pemilu 1960. Pemerintahan militer, saat itu, berhasil memulihkan keadaan dalam negeri sampai terselenggaranya pemilu tahun 1960 yang dimenangkan oleh U Nu dan partainya, Union Party. Pihak militer kemudian mengultimatum pemerintah sipil dengan memberikan waktu selama 2 tahun untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi Myanmar. Karena pemerintah sipil tidak dapat menata kembali kondisi dalam negeri Myanmar, yang semakin diperparah dengan kegagalan U Nu dalam menata sistem perekonomian dan administrasi Myanmar, maka timbul ketidakpuasan di kalangan pro-militer dan militer. Akhirnya pada tanggal 2 Maret 1962, militer melakukan kudeta di bawah pimpinan Jenderal Ne Win.
Keberhasilan kudeta atas PM U Nu pada tahun 1962 itu bisa dikatakan sebagai awal keruntuhan demokrasi di Myanmar. Selama masa pemerintahannya (1962-1988) Ne Win hanya mengakui satu partai politik, yaitu Burmese Socialist Program Party (BSPP) yang dibentuknya sendiri. BSPP atau yang lebih dikenal dengan Partai Lenzin ini bisa dikatakan sebagai partai tunggal yang dilaksanakan untuk mendukung program sosialis dengan mayoritas anggota berasal dari golongan militer. Sejak berdiri tahun 1962 dan disahkan tahun 1964 keanggotaan partai ini didominasi oleh militer. Pada tahun 1972 militer menjadi pilar pokok dari partai (Taylor, 1980 : 40).
Keterlibatan militer dalam penggagalan demokrasi kembali dilakukan pada tahun 1990. Ketika itu Jenderal Saw Maung membatalkan hasil pemilu 27 Mei 1990 yang menempatkan National Leaque for Democration (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi sebagai pemenang pemilu. Sampai saat ini, di bawah Jenderal Than Shwe, militer sangat kuat mengendalikan kehidupan politik, sosial, dan ekonomi rakyat Myanmar. Begitu kuatnya peran militer sehingga David I. Steinberg menempatkan Myanmar sebagai “The most monolithically military-controlled in the worldi” (Neher, 1995:121).
Menurut Huntington, ketika militer melakukan kudeta terhadap pemerintah sipil maka kemudian pemerintah militer harus memilih antara mempertahankan kekuasaan atau mengembalikannya kepada politisi sipil; dan antara memperluas partisipasi politik kelompok-kelompok masyarakat atau membatasinya (Huntington, 1968: 233-237), dengan demikian, pimpinan rezim militer dihadapkan pada 4 pilihan :
    Mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi.
    Mempertahankan kekuasaan dan memperluas partisipasi.
    Mengembalikan kekuasaan dan membatasi partisipasi.
    Mengembalikan kekuasaan dan memperluas partisipasi.
Dalam kasus Myanmar, untuk melihat kebijakan mana yang diambil oleh rezim militer tidaklah susah. Dengan melihat kebijakan yang diterapkan rezim militer pimpinan Jenderal Ne Win (1962-1988) dan rezim militer pimpinan Jenderal Saw Maung pasca 1988 kita dapat melihat dengan jelas bahwa rezim tersebut memilih kebijakan mempertahankan kekuasaan dan membatasi partisipasi.
Pada masa Ne Win misalnya, segera setelah ia melakukan kudeta atas pemerintahan sipil pimpinan Perdana Menteri U Nu tahun 1962, ia mendirikan pemerintahan otoriter dan memerintah dengan gaya diktator (Steinberg, 1982: 33-35). Rakyat tidak diperkenankan untuk memilih pimpinannya sendiri, karena keputusan politik harus melalui pimpinan militer di Rangoon. Burmese Socialist Program Party (BSPP), pimpinan jenderal Ne Win, menjadi satu-satunya partai resmi yang berdiri. Oposisi datang dari penjuru perkotaan dan pedalaman, tetapi selalu gagal karena pihak oposisi tidak memiliki pemimpin kharismatik dan lemahnya masyarakat sipil Myanmar.
Ketika Myanmar di bawah pemerintahan militer pimpinan Jenderal Saw Maung mengambil alih kekuasaan pada 18 September 1988 (Sulistiyanto, 1993: 78), watak otoriterisme pendahulunya diwarisi oleh pemerintahan ini. Kudeta tahun 1988 ini dalam kenyataannya tidak dapat diartikan sebagai adanya pergantian kekuasaan di Myanmar. Hal ini semata-mata pergantian pemerintahan militer yang ìlamai menjadi pemerintahan militer yang ìbarui, dari BSPP menjadi The State Law and Order Restoration Council (SLORC). Pada dasarnya kekuasaan pemerintahanan tetap berada di tangan militer. Sebagaimana pendahulunya, pemerintahan militer Jenderal Saw Maung juga memimpin negara dengan otoriter. Banyak bukti menunjukkan hal itu, misalnya penolakan SLORC terhadap hasil pemilu tanggal 27 Mei 1990. Seperti diketahui pada pemilu ini partai NLD berhasil merebut 392 dari 485 kursi di parlemen nasional. Hasil ini sesungguhnya di luar prediksi militer. Sebelumnya SLORC merasa yakin bahwa partai pemerintah, National Unity Party (NUP), akan memenangkan pemilu. Di sinilah sifat otoriter militer muncul. Berbagai protes rakyat dihadapi dengan tindakan represif oleh militer. Di penghujung tahun 1991 SLORC mulai melancarkan kampanye intensif untuk menghancurkan kekuatan oposisi di wilayah perkotaan maupun di kalangan etnis minoritas. Praktis tindakan SLORC ini semakin melemahkan posisi sipil dalam kancah perpolitikan di Myanmar. Sampai saat ini, di bawah pemerintahan Jenderal Than Shwe, meskipun SLORC diganti menjadi The State Peace Development Council (SPDC), pada kenyataannya lembaga ini tetap menjalankan fungsi-fungsi lembaga sebelumnya yaitu mengontrol kehidupan sosial politik rakyat Myanmar.
Menurut Sundhaussen, untuk menentukan keputusan mana yang hendak dipakai tidak bisa hanya tergantung pada kecenderungan atau kemauan bebas dari pimpinan. Sundhaussen kemudian mengembangkan dalil Finer bahwa keberhasilan intervensi militer tergantung pada faktor internal dan eksternal yang sesuai, yang mencakup tidak hanya masuknya militer ke dalam politik tetapi juga keluarnya militer dari dalam politik. Maka, memilih di antara pilihan yang ada juga tergantung pada faktor internal dan faktor eksternal militer yang sesuai, mencakup tidak hanya masuknya militer ke dalam politik tetapi juga keluarnya militer dari dalam politik, maka memilih di antara pilihan yang ada juga tergantung pada faktor internal dan faktor eksternal militer.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Dari uraian pembahasan tentang Myanmar dapat diambil beberapa kesimpulan seperti, Myanmar atau Burma merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, yang dalam hal tertentu memiliki kesamaan dengan negara-negara lain yang ada di kwasan Asia Tenggara. Dalam berbagai media sering dikatan bahwa Burma merupakan India di Asia Tenggara dan merupakan jajahan Inggris yang paling terbelakang.
Setiap negara tak terkecuali Myanmar pasti mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Perjalanan sejarah Myanmar merupakan suatu perjalanan sejarah yang penuh dengan intrik-intrik politik kepentingan yang dijalankan pihak militerisme yang hanya mementingkan kepentingan golongan sendiri. Dalam perkembangannya setelah kemerdekaan kebijakan-kebijakan pemimpin Myanmar pada masa militer masih berkuasa banyak menciptakan suasana interen yang sangat buruk. Tertutupnya Myanmar terhadap dunia luar pada awalnya mnjadikan Myanmar sebagai negara yang terbelakang. Akan tetapi seiring berjalannya perkembangan dunia yang mau tidak mau setiap bangsa dan negara akan terkena imbasnya tidak terkecuali Myanmar, kondisi ini ditandai dengan keikutsertaan negara Myanmar  dalam berbagai organisasi Internasional seperti masuknya Myanmar kedalam anggota ASEAN pada 23 juli 1997 dan menjadi anggota yang ke-9. Tapi dalam berbagai organisasi diluar kawasan Asia Tenggara Myanmar sangat aktif seperti menjadi ikut dalam Konferensi Asia Afrika (KAA), Negara Non-Blok dan pada organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa  (PBB) dan UNO (United Nations Organitation), dan perwakilan dari Myanmar pernah menjadi sekretaris jendral PBB yaitu U That pada periode 1961-1971. Namun dalam perkembangan  dasa warsa terakhir ini Myanmar semakin membuka diri terhadap negara-negara Asia Tenggara, banyak kerjasama baik hubungan Bilateral maupun multirateral dilakukannya.


3.2 Saran
Kondisi Myanmar ketika Junta militer berkuasa di negara tersebut merupakan suatu kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia ketika rezim Orde Baru pernah berkuasa di negeri ini. Kondisi kebangsaan seperti ini sebenarnya tidak akan mengalami perubahan apabila tidak adanya keberanian sebagian rakyat dalam melakukan suatu pergerakan yang akan memberikan perubahan yang bisa dirasakan oleh semua rakyat.




DAFTAR PUSTAKA


Abdulgani, H. Roeslan. 1978. Asia Tenggara di Tengah Raksasa Dunia. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.

Groslier, Bernadrd Philippe. 2007. INDOCINA ‘Persilangan Kebudayaan’.Bogor: Grafika Mardi Yuana.

Hall, D. G. E.. 1977. A History Of South East Asia. London: The Macmillan Press LTD.

Huntington, Samuel P. 1991. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press.

Neher, Clarck D. 1995. Democracy and Development in Southeast Asia. Colorado: Westview Press.

Reid, Anthony. 2004. Sejarah Moderen Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Soebantardjo. 1960. Sari Sejarah ‘Asia-Australia’. Jogjakarta: Bopkri.

Steinberg, I. David. 1982. Burma: a Socialist Nation of Southeast Asia. Colorado: Westview Press.

Sulistiyanto, Priyambudi. 1993. Revolusi yang Tertunda. Jakarta : Prisma.

Taylor, Robert H. 1980. Burma, dalam Harold Crouch “Military Civilian Relation in Southeast Asia”. Singapore: Koon Wah Printing.

Jumat, 11 Maret 2011

MAKALAH ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL BERSENDIKAN AGAMA, SEBELUM KEMERDEKAAN



KATA PENGANTAR


Puja dan puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmatnya dalam kejernihan berpikir. Sehingga kami dapat merampungkan makalah yang berjudul “Organisasi Pergerakan Nasional Kebangsaan Indonesia yang Bersendikan Agama” ini. Makalah ini di buat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Indonesia III.
Tidak lupa pula kami ucapkan banyak-banyak terimakasih kepada yang terhormat bapak Drs. I Gusti Made Aryana, M. Hum., yang dalam kesempatan ini sebagai dosen langsung mata kuliah Sejarah Indonesia III. Kepercayaan beliau yang diberikan kepada kami untuk membahas materi “Pergerakan Nasional” dalam bentuk penugasan membuat makalah ini, pada awalnya memang kami rasakan sebagi sebuah beban tersendiri. Akan tetapi setelah kami menyadari esensial dari penugasan tersebut, kamipun merasa tidak terbebani dalam merampungkan makalah ini. Kami juga mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada kakanda Usman Ali yang telah memberikan sumbangsihnya dalam bentuk peminjaman sumber berupa buku-buku refrensi. Selebihnya bagi pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu dalam penyusunan makalah ini, kami ucapkan thanks.
Dalam kesempatan ini kami juga berharap semoga makalah yang dibuat dengan segala kerelatifannya ini mampu memberikan manfaat yang positif khususnya bagi kami dan umumnya bagi segenap pihak yang berkesempatan membaca makalah ini.
“Segala kekurangan hanya ada pada manusia, dan segala kelebihan hanya ada pada Sang Maha Pencipta”. Menyadari posisi tersebut kami sebagai pemakalah menyadari betul keberadaan makalah ini masih belum mencapai kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami masih sangat mengharapkan sumbang saran, kritik, dan do’a yang tentunya bersifat membangun demi eksistensi kami kedepan dalam berkarya.

Singaraja, 24 Februari 2011

      Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Suatu perubahan akan tercipta apabila ada suatu pergerakan. Mengacu pada kalimat tersebut dapat kita selaraskan dengan kondisi Indonesia saat ini yang sebentar lagi merayakan HUT proklamasi kemerdekaannya ke-66. Kemerdekaan yang diperoleh Indonesia merupakan sebuah kondisi nyata dari hasil pergerakan dan perjuangan tak henti-henti yang dilakukan oleh para pahlawan Bangsa ini. Sejarah mencatat perubahan disetiap Negara di dunia ini terjadi karena adanya pergerakan yang dilakukan oleh para pemuda, tidak terkecuali di Indonesia. dari Bangsa yang terjajah berubah menjadi Negara yang merdeka. Muhamad Yamin mengistilahkan Indonesia sebagai Bangsa budaya sebelum merdeka, dan setelah merdeka beliau menyebutnya sebagai Bangsa Negara karena telah mempunyai suatu wilayah Negara kesatuan sebagai tempat hidup bersama (Dekker, 1969: 4).
Untuk lebih memudahkan dalam memahami peranan pergerakan Nasional dalam menciptakan kondisi Bangsa yang diidam-idamkan, kiranya kita perlu memahami makna dari sebuah pergerakan. Suatu pergerakan merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam mencapai suatu cita-cita atau titik tujuan tertentu yang pasti. Sedangkan pergerakan Nasional merupakan suatu upaya yang dilakukan demi mencampai titik tujuan tertentu, yaitu membentuk suatu kondisi Bangsa yang diidam-idamkan sejak dulu (Dekker, 1969: 1-2).
Secara umum kebangkitan pergerakan Nasional Indonesia muncul dikarenakan adanya dua faktor, yaitu faktor internal. Faktor ini muncul karena adanya suatu bentuk kesadaran yang dipicu oleh pemikiran rasional dari segala bentuk nyata yang dirasakan terhadap keadaan Bangsa pada saat itu. Sistem pemerasan yang dijalankan oleh kaum penjajah berlangsung sangat lama di Indonesia. dalam hal ini karena penjajah mendaptkan keuntungan yang besar dan mereka yang diperas mengalami penderitaan. Dalam keadaan seperti itu Bangsa Indonesia mencari jalan keluar melalui berbagai macam bentuk perlawanan untuk mendapatkan kebebasan dalam hidupnya dan tanpa adanya tekanan yang mengikatnya dari Bangsa lain. Sehingga secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya penderitaan yang berkelanjutan pada masa penjajah merupakan faktor yang paling utama dari dalam negeri untuk melakukan suatu perlawanan dalam bentuk organisasi pergerakan kebangsaan Nasional Indonesia (Murni, 2005: 2).
Faktor yang ke-dua adalah faktor external berupa kejadian-kejadian besar yang terjadi di luar Indonesia, khususnya di kawasan Asia. 1905, kekalahan Rusia dalam perang senjata oleh Jepang merupakan kondisi yang memberikan momentum hangat bagi Bangsa-Bangsa timur tidak terkecuali Indonesia. Pandangan yang selalu mengedepankan orang Eropa sebagai suatu suku Bangsa yang special peoples pupus sudah, sehingga perlawanan untuk mencapai sebuah kesatuan Nasional dengan mengusir dominasi penjajah semakin menggebu-gebu, pergerakan kebangsaan India, adanya suatu pergerakan dalam bentuk partai kongres yang terjadi di India pada akhir abad ke XIX memberikan stimulus bagi Indonesia untuk ikut melakukan suatu pergerakan Nasional. Fenomena ini terjadi karena pada dasarnya antara India dan Indonesia pada waktu itu memiliki permasalahan yang sama yaitu berada dalam belenggu penjajahan. Pemberontakan Bangsa kulit berwarna terhadap dominasi penjajah yang terjadi di Fhilipina pada tahun 1898 ternyata memberikan dampak yang positif bagi Bangsa Indonesia, selanjutnya adalah pada tahun 1911, Republik Cina (Nasionalis) terbentuk di bawah kepemimpinan Sun Yat Sen (Dekker, 1969: 4). Kondisi tersebut ternyata memberikan Impact yang begitu positif dalam upaya membangkitkan kepercayaan diri Bangsa Indonesia. Peristiwa-peristiwa monumental tersebut memberikan sebuah sumbangsih tersendiri bagi Bangsa Indonesia dalam menumbuh kembangkankan kesadaran akan pentingnya sebuah Nasionalisme.
Dalam proses pergerakan Nasional yang terjadi di Indonesia, ada berbagai corak yang melatar belakanginya, di antaranya adalah pergerakan Nasional yang dilatar belakangi atas dasar Agama, atas dasar politik, atas dasar ekonomi, dan masih banyak lagi pergerakan-pergerakan Nasional yang berkembang yang dilatar belakangi oleh persamaan-persamaan sosial lainnya. Meskipun adanya perbedaan-perbedaan yang melatar belakangi pergerakan Nasional di Indonesia, namun hal tersebut tidak menjadi suatu masalah, karena pada dasarnya esensial dari pergerakan-pergerakan tersebut adalah mengupayakan suatu kondisi Bangsa yang layak disandang oleh Indonesia. Mengutip pandangan Prabowo Subianto, agar jangan sampai Negara ini dipenuhi dengan suatu kondisi yang paradoks (Subianto, 2010: 7).
Salah satu corak pergerakan Nasional yang menarik kita telisik adalah oerganisasi-organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan Agama. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kontribusi organisasi-organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan Agama dalam proses menciptakan kondisi Bangsa yang merdeka sangatlah besar. Munculnya pergerakan-pergerakan yang berhaluan Agama ini dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor pemurnian Agama, persatuan Agama, dan moderenisasi Agama (Pringgodigdo, 1986: 2-3).
Agama dan kebangsaan. Dari dua permasalahan tersebut mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran mengenai relevansi antara Agama dan kebangsaan lebih-lebih penggunaan Agama sebagai landasan dasar dalam pergerakan Nasional kebangsaan. Fenomena ini tentunya perlu dicermati secara mendalam karena antara Agama dan kebangsaan memang berbeda secara harfiah akan tetapi jangan sampai kita terjelembab ke dalam persepsi yang salah. Karena disisi lain Agama ternyata mampu menciptakan suatu kondisi kebangsaan yang pancasilais dan agamais.

1.2      Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dijabarkan di atas, pemakalah mencoba menawarkan beberapa rumusan permasalahan yang akan menjadi acuan dalam pembahasan mengenai “Organisasi Pergerakan Kebangsaan yang Bersendikan Agama”. Adapun rumusan-rumusan masalah tersebut adalah :
1.2.1        Apakah yang melatar belakangi munculnya organisasi pergerakan Nasional bersendikan Agama ?
1.2.2        Apakah pergerakan Nasional yang bersendikan Agama mempunyai relevansi dengan perjuangan Bangsa Indonesia secara universal ?
1.2.3        Sejauh manakah sepak terjang organisasi-organisasi pergerakan Nasional yang bersendikan Agama dalam peranannya terhadap Bangsa Indonesia ?



1.3    Tujuan Masalah
Mengacu pada rumusan masalah yang telah ditawarkan di atas, tentunya ada tujuan dan rasional yang jelas mengenai penulisan makalah ini, adapun tujuannya adalah sebagai berikut :
1.3.1        Untuk dapat mengetahui latar belakang munculnya organisasi pergerakan Nasional bersendikan Agama.
1.3.2        Untuk dapat mengetahui relevansi pergeakan Nasional bersendikan Agama dengan perjuangan Bangsa Indonesia secara universal.
1.3.3        Agar memperoleh gambaran secara umum mengenai sepak terjang organisasi pergerakan bersendikan Agama dalam peranannya terhadap Nusa dan Bangsa.


BAB II
PEMBAHASAN

Tiga dasawarsa pertama abad XX bukan hanya menjadi saksi penentuan wilayah Indonesia yang baru dan suatu pernyataan kebijakan penjajahan yang baru. Masalah-masalah dalam masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan yang begitu besar sehingga dalam maslah-masalah politik, budaya, dan Agama rakyat Indonesia menempuh jalan baru. Perubahan yang cepat terjadi di semua wilayah yang baru saja ditaklukan oleh Belanda. Akan tetapi, dalam hal gerakan-gerakan anti penjajahan dan pembaharuan yang mula-mula muncul pada masa ini, Jawa dan daerah Minangkabau di Sumatra menarik perhatian yang khusus. Perubahan-perubahan yang terjadi di sana sedemikian rupa sehingga sejarah Indonesia Modern memasuki zaman baru dan memperoleh kosa kata baru. Alasan-alasan yang mendorong Jawa dan Minangkabau menjadi pelopor dalam perubahan-perubahan yang mendadak ini cukup jelas.
Minangkabau telah mengalami pembahruan besar-besaran dalam Agama Islam yang pertama di Indonesia dibawah kaum Padri, Bumi Padang juga telah mengalami perubahan-perubahan yang besar sejak dipaksakannya kekuasan Belanda, dan memiliki tradisi untuk berhubungan secraa aktif dengan dunia luar yang telah membukanya bagi ide-ide baru. Ketika Raja-Raja Bali dan kaum ulama Aceh masih berjuang untuk mempertahankan tatanan yang lama dari upaya penaklukan penjajah, maka orang-orang Minangkabau dan rakyat Jawa meletakkan dasar-dasar bagi suatu tatanan baru. (M.C.Ricklefs, 1991: 247).
Kunci perkembangan pada masa ini adalah munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan dikenalnya definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang identitas. Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk baru dan lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan Agama, sosial politik, dan ekonomi pada tahun 1907 telah terbentuk suatu kepemimpinan Indonesia yang baru dan suatu kesadaran diri yang baru, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar. Adanya organisasi-organisasi pergerakan yang banyak memunculkan ide-ide, gagasan-gasan baru dan modern yang nantinya akan menjadi sebuah acuan dalam memperoleh kemerdekaan terbukti ampuh, contohnya adalah organisasi pergerakan yang berhaluan Agama.

2.1  Latar Belakang Munculnya Organisasi Pergerakan Nasional
Bersendikan Agama
Sejarah mencatat, bahwa Gerakan Salaf bertujuan utama mengembalikan ajaran Islam kepada dua sumbernya yang murni, yakni Al-Quran dan Sunnah, mengikis habis termasuk pertengkaran mazhab, bid’ah, khurafat, dan tkahyul, serta klenik, membuka terus pintu ijtihad dan menolak sifat membabi buta dalam kegelapan taklid. Gerakan salaf merupakan gerakan reformasi. Gerakan ini menghendaki perombakan total ummat Islam yang telah jauh menyeleweng dari ajaran Islam sebenarnya, merombak total luar dan dalam jiwa. Kemudian usaha tersebut disesuaikan dengan perkembangan zaman. Oleh kaum orientalis disebut dengan Rivival of Islam atau New World of Islam ( Stoddard, 1966: 298).
Usaha penyesuaian Agama terhadap perkembangan zaman mau tidak mau akan menimbulkan sebuah usaha reformisme dan Modrenisme. Reformisme dan Modrenisme timbul pada abad XIX di Negara-Negara Islam Asia Barat, yang merupakan reaksi terhadap tantangan Barat. Gerakan ini berpusat di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir yang dipimpin oleh Jamaluddin al Afgani, dan Indonesia merupakan salah satu Negara yang tak luput terkena imbas gerakan Reformisme dan Modrenisme dalam bidang Agama. Kondisi ini terbukti dengan munculnya beberapa organisasi pergerakan kebangsaan yang berhaluan Agama.
2.1.1   Sarekat Islam (SI)








H. Samanhudi (Tokoh pendiri SI)                     Lambang SI
Sarekat Islam (SI) merupakan salah satu partai politik yang berurat nadikan ajaran Islam dan merupakan partai Islam yang terbesar pada masa pergerakan Nasional. SI didirikan di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh H. Samanhudi. Akan tetapi ada pula yang berpandangan bahwa SI didirikan pada tahun 1911. Pada awalnya SI bernama SDI (Sarekat Dagang Islam) dan tidak kurang sebanyak lima kali mengalami pergantian nama yang kemudian kembali memakai nama SI setelah bergabung dengan PPP pada tanggal 5 Januari 1973 (Firdaus, 1997: 9-22).
Sarekat Islam tumbuh dari organisasi yang mendahuluinya yang bernama Serikat Dagang Islam (SDI). Ada dua alasan mengapa SI ini didirikan antara lain:
a.       Kompetisi yang meningkat dalam bidang peragangang Batik terutama dengan golongan Cina,
b.      Sikap superioritas orang-orang Cina terhdap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina dalam tahun 1911. Di samping itu dirasakan tekanan pula tekanan oleh masyrakat Indonesia di Solo ketika itu dari kalangan Bangsawan mereka sendiri. SDI dimaksudkan menjadi benteng bagi orang-orang Indonesia yang pada umumnya terdiri dari pedagang-pedagang Batik di Solo terhadap orang-orang Cina dan para Bangsawan tadi (Deliar Noer, 1985:116).
Latar Belakang Ekonomis merupakan landasan perkumpulan ini, kondisi ini di picu dengan perlawanan terhadap dagang antara (penyalur) oleh orang Cina. Kejadian itu merupakan isyarat bagi orang Muslim bahwa telah tiba waktunya untuk menunjukkan kekuatannya. Para pendiri SI mendirikan oraganisasainya tidak semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang-orang Cina, tatapi unutk membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putra. Ia merupakan reaksi terhadap rencana krestenings-politik (Politik pengkristenan) dari kaum Zending, perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan penindasan-penindasan dari pihak ambtenar-ambtenar bumi putra dan Eropa. Pokok utama perlawanan SI ditujukan terhadap setiap bentuk penindasan dan kesombongan rasial. Berbeda dengan Budi Utomo yang merupakan organisasi dari ambtenar-ambtenar pemerintah. Maka SI berhasil pada lapisan bawah masyarakat, yaitu lapisan yang sejak berabad-abad hampir tidak mengalami perubahan dan paling banya menderita (Nugroho Notosusanto, 1984: 183).
Bila ditinjau menurut anggaran dasarnya, yang dapat dirumuskan seperti berikut:
v  Mengembangkan jiwa berdagang
v  Memberi bantuan kepada anggota-anggota yang menderita kesukaran
v  Memajukan pengajaran dan semua yang mempercepat naiknya deRajat bumi putra
v  Menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang Agama Islam
Apabila kita simak dari anggaran dasarnya terkesan SI memang tidak bergerak dalam bidang politik. Tetapi kalau dilihat dari seluruh aksi perkumpulan itu dapat diproyeksikan, bahwa SI tak terlepas dalam usaha melaksanakan suatu tujuan ketataNegaraan yang selalu diperjuangkan dengan gigih. Tanpa diragukan Periode SI itu dicanangkan oleh suatu kebangkitan revolusioner dalam arti tindakan yang gagah berani melawan stelsel-penjajah (Nugroho Noto Susanto, 1984:183).
Dalam menghadapi situasi yang demikian hidup dan mengandung unsur-unsur revolusioner. Pemerintah Hindia Belanda,  menemepuh jalan hati-hati dan selanjutnya mengirimkan salah seorang penasehatnya kepada organisasi tersebut. Gubernur Jendral Idunburg meminta nasehat-nasehat dari para residen unutk menetapkan kebijaksanaan politiknya. Hasilnya ialah unutk sementara SI tidak Boleh berupa organisasi yang mempunyai pengurus besar dan hanya diperbolehkan secara lokal (Nugroho Notosusanto, 1984: 184).
Gubernur Jendral Idenburg secara hati-hati mendukung SI, dan pada tahun 1913 dia memberi pengakuan resmi kepada SI. Meskipun demikian, dia hanya mmengakui organisasi-organisasi tersebut sebagai suatu kumpulan cabang-cabang yang otonom saja dari pada sebagai suatu organisasi Nasional yang dikendalikan oleh markas besarnya (Centraal Sarekat Islam, CSI). Dengan bertindak begitu Idenburg menganggap bahwa dia membantu para pemimpin pusat organisasi baru dengan tidak membebani CSI dengan tanggung Jawab hukum atas kegiatan-kegiatan semua cabang SI. Akan tetapi, akibat keputusannya itu menjadikan CSI semakin sulit diawasi. Orang-orang Belanda lainnya menganggap bahwa pengakuan resmi Idenburg terhadap SI sama sekali keliru, dan mulai dikatakan bahwa arti SI yang sebenarnya adalah Salah Idenburg (M.C.Ricklefs, 1991:253).
Sejak tahun 1912 SI berkembang dengan pesat, dan untuk yang pertama kalinya tampak adanya dasar rakyat walaupun sukar di kendalikan dan hanya berlangsung sebentar. Pada tahun 1919 SI menyatakan mempunyai anggota 2 juta orang, tetapi jumlah yang sesungguhnya mungkin tidak pernah lebih dari setengan juta orang. Tidak seperti budi utomo, SI berkembang dari Jawa ke daerah-daerah luar Jawa, tetapi Jawa tetap menjadi pusat dari kegiatannya. Anggota-anggotanya harus mengangkat sumpah rahasia dan memiliki kartu anggota yang sering dianggap jimat oleh orang-orang desa. Tjokroaminoto kadang-kadang dianggap sebagai Ratu Adil (Raja yang adil) yang diramalkan oleh tradisi-tradisi Jawa yang bersifat mesianistis, dan yang disebut Eru Cakra ( yaitu nama yang sama dengan Cakra – Aminata, Tjokroaminoto) (M.C.Ricklefs, 1991:253).
SI menyatakan setia kepada rezim Belanda, tetapi ketika organisasi tersebut berkembang di desa-desa maka meletuslah tindak kekerasan. Rakyat pedesaan tampaknya lebih menganggap SI sebagai alat bela diri dalam melawan struktur kekuasaan lokal yang kelihatannya monolitis, yang tidak sanggup mereka hadapi, dari pada sebagai gerakan politik moderen. Oleh karena itulah, organisasi tersebut menjadi lambang kesetia kawanan kelompok yang dipersatukan dan tampaknya didorong oleh perasaan tidak suka kepada orang-orang Cina, pejabat-pejabat priyayi, mereka yang tidak menjadi anggota SI, dan orang-orang Belanda. Di beberapa daerah SI benar-benar menjadi pemerintahan bayangan dan para pejabat priyayi harus menyesuaikan diri. Aksi boikot yang dilakukan terhadap pedagang Batik Cina di Surakarta dengan cepat meningkat menjadi aksi saling menghina antara Cina-Indonesia dan tindak kekerasan diseluruh Jawa pada tahun 1913-1914 terjadi letupan tindak kekerasan yang sangat hebat di kota-kota dan desa-desa dalam hal ini cabang-cabang sarikat Islam lokal memainkan peranan penting (M.C.Ricklefs, 1991:253).
Pada tahun 1913 H.J.F.M. Sneevleit (1883-1942) tiba di Inidonesia. Dia memulai karirnya sebagai seorang penganut Katolik tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial demokratis yang revolusioner dan aktivisme Serikat Dagang. Dia kemudian bertindak sebagai agen  Komintern di Cina dengan nama samaran G. Maring. pada tahun 1914 dia mendirikan Indische Sosia-Democratische Vereniging (ISDV: Perserikatan Demokrat Hindia) di Surabaya. partai kecil yang berhaluan kiri ini dengan cepat menjadi Partai Komunis pertama di Asia yang berada di luara negri Unisoviet. Anggota ISDV hampir seluruhnya ornag Belanda tetapi oraganisasi ini memperoleh dasar dikalangan rakyat Indonesia. Pada tahun 1915-1916 partai ini menjalin persekutuan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia), sebuah partai yang didirikan pada tahun 1907 dan setelah tahun 1913 menerima sebagian besar anggota Indische Partij yang berkebangsaan Indo-Eropa, yang radikal. Anggota Insulinde berjumlah 6000 orang termasuk bebrapa orang Jawa yang terkemuka, tetapi organisasi ini jelas bukanlah suatu alat yang ideal unutk menarik rakyat sebagai dasarnya. Oleh karena itulah, maka perhatian ISDV mulai beralih kepada SI, satu-satunya organisasi yang memiliki jumlah pengikut terbesar di kalangan rakyat Indonesia (M.C.Ricklefs, 1991:261).
Suwardi Suryaningrat mencatat pada tahun 1917, bahwa berhubung dengan jalan diplomatis yang yang ditempuh oleh pemerintah Hindia Belanda, maka lambat laun unsur pemberontakan menjadi berkurang, bahkan disana sini telah berubah menjadi mantalitet semangat Belanda. Penulisan lain (D.M.G, Koch) mengemukakan adanya tiga aliran dalam tubuh SI yaitu :
1.      Bersifat Islam fanatik
2.      Bersifat menetang keras
3.      Golongan yang hendak berusaha mencari kemajuan dengan
berangsur-angsur dan dengan bantuan pemerintah
Tetapi apabila cita-cita yang tidak adil dan tidak sah terhadap rakyat Indonesia begitu jelas, maka ciri kerohanian SI tetap demokratis dan militan ( sangat siap untuk berjuang). Memang beberapa aspek perjuangan terkumpul menjadi satu di dalam tubuh SI sehingga ada yang menamakan bahwa SI merupakan gerkan  natinalistis-demokratis-ekonomis ( Nugroho Notosusanto, 1984: 184). Itulah yang menyebabkan SI dipandang lain dari pada paartai yang lainnya. Maka kecepatan tumbuhnya SI bagaikan meteor dan meluas horisontal, sehingga SI merupakan organisasi massa yang pertama di Indonesia, yang antara tahun 1917-1920 sangat terasa pengaruhnya di dalam tubuh politik Indonesia. Corak demokratis dan kesiapan untuk berjuang yang mendekatkan beberapa cabang SI dan para pemimpinnya kepada ajaran Marxis. Terutama SI dibawah Semaun dan Darsono merupkan pelopor yang menggunakan senjata baru dalam perjuangan melawan imperalisme, ialah teori perjuangn Marx ( Nugroho Notosusanto, 1984: 184).
Kondisi tersebut sudah barang tentu menimbulkan krisis dalam tubuh SI, dan pertentangan timbul antara pendukung paham Islam dan paham Marx. Debat yang seru terjadi antara H.A.Agus Salim-Abdul Muis di satu pihak dengan Semaun-Tan Malaka di lain pihak, tatkala pada tahun 1921 golongan kiri dalam tubuh SI dapat disingkirkan, yang kemudian menamakan dirinya Sarekat Rakyat (SR). SI dan SR keduanya berusaha unutk mendapatkan sokongan massa dan dalam hal ini keduanya cukup berhasil. Keadaan yang demikian menyebabkan pimpinan SI, H.O.S. Tjokroaminoto mengadakan studi perbandingan ajaran Islam dan Marxisme. Berikutnya terbit pada tahun 1924 ( Nugroho Notosusanto, 1984: 185).
Perpecahan yang terjadi di dalam tubuh SI sangat merugikan perjuangan dan cita-cita SI. Dinamika yang tejadi dalam SI mengakibatkan SI berubah nama menjadi paratai Sarekat Islam Indonesia ( PSII). Dalam tahun 30-an setelah meninggalnya tokoh utama SI H.O.S. Tjoroaminoto, perpecahan didalam tubuh SI sering kali terjadi. Sehingga peranan dan pengaruhnya sebagai paratai besar juga menjadi mundur ( Nugroho Notosusanto, 1984:185).
2.1.2   Muhammadiyah







Kyai Haji Ahmad (pendiri Muhammadiyah) dan lambang Muhammadiyah
Organisasi Islam yang modren yang paling penting di Indonesia berdiri di Yogyakarta, 18 Nopember 1912. Didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) berasal dari elite Agama kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1890 dia naik Haji ke Mekkah belajar bersama-sama Ahmad Khotib dan yang lain-lain dia pulang dengan tekad bulat untuk memperbaharui Islam dan menentang usaha-usaha Kristenisasi yang dilakukan oleh kaum Missionaris Barat. Pada tahun 1909 dia masuk Budi Utomo dengan harapan dapat berkhotbah tentang pembaharuan dikalangan para anggotanya, akan tetapi para pendukungnya mendesaknya supaya mendirikan organisasai sendiri. Pada tahun 1912 dia mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta. Muhammadiyah mencurahkan kegiatannya pada pada usaha-usaha pendidikan dan kesejahteraaan dan dalam program dakwah guna melawan Agama Kristen dan ketakhayulan-ketakhayulan lokal (M.C.Ricklefs, 1991:258).
Pada mulanya Muhammadiyah berkembang secara lamban. Organisasi ini ditentang atau diabaikan oleh para pejabat, guru-guru Islam gaya lama di desa-desa, heirarki-heirarki keagamaan yang diakui pememrintah, dan oleh komunitas-komunitas orang saleh yang menolak ide-ide Islam Modern. Dalam rangka upaya-upaya pemurniannya, organisasi ini mengecam banyak kebiasaan yang telah diyakini oleh orang-orang saleh Jawa selama berabad-abad sebagai Islam yang sebenarnya. Dengan demikian, maka pada masa awalnya, Muahammadiyah menimbulkan banyak permusuhan dan kebencian di dalam komunitas Agama di Jawa. Pada tahun 1925, dua tahun sesudah wafatnya Dahlan, Muhammadyah hanya beranggotakan 4.000 orang, tetapi organisai ini telah mendirikan lima puluh sekolah dengan 4.000 orang murid, dua balai pengobatan di Yogyakarta dan Surabaya, sebuah rumah miskin.
Organisasi ini diperkenalkan di Minangkabau oleh Haji Rasul pada tahun 1925. Sesaat setelah berhubungan dengan dunia Islam yang dinamis di Minangkabau, maka organisasi ini berkembang dengan pesat. Pada tahun 1930 jumlah anggotan organisasi ini sebanyak 24.000 orang, pada tahun 1935 berjuumlah 43.000 orang, dan pada tahun 1938 organisasi ini menyatakan mempunyai anggota yang luar biasa jumlahnya, yaitu 250.000 orang. Pada tahun 1938 organisasi in telah menyebar keseluruh pulau utama di Indonesia, mengelola 834 mesjid dan langgar, 31 perpustakaan umum dan 1.774 sekolah, serta memiliki 5.516 orang mubalig pria dan 2.114 orang mubalig wanita. Samapai sedemikian jauh dapat dikatakan bahwa sejarah Islam Modern di Indonesia sesudah tahun 1925 adalah sejarah Muhammadiyah (M.C.Ricklefs, 1991:260).

2.1.3   Nahdatul Ulama







K.H. Hasyim Asjari (pendiri NU)                Lambang NU
Pada tahun 1924 Turki menghapus jabatan khalifah, pemimpin Agama semua kaum Muslim, yang yang telah ditunutut sebagai haknya oleh sultan Usmani selama sekitar enam dawarsa. Mesir bermaksud menyelenggarakan suatu konfrensi Islam Internasional guna membahas masalah khalifah tersebut. Akan tetapi, terjadi kekakcauan lagi ketika pada tahun 1924 ibn Sa’ud merebut Mekkah, dan membawa bersamanya ide-ide pembaharuan Wahabi dan menyatakan bahwa kaum Muslim supaya menghadiri suatu konfrensi ke-khalifahan. Selama tahun 1924-1926 kaum Muslim Indonesia membentuk komite-komite yang akan menghadiri konfrensi-konfrensi tersebut tetapi wakil-wakilnya yang akan menghadiri konfrensi-konfrensi tersebut, sebagian besar adalah modernis, dan tokoh Tjokroaminoto sangat menonjol (M.C.Ricklefs, 1991:269).
Para ulama Syufi’i Jawa sudah cukup geram. Mereka membenci modernisme yang mereka samakan dengan Wahabisme ( Suatu gerakan pemurnian yang hanya mengakui mazhab Hambali), mereka meremehkan Tjokroaminoto, dan mereka merasa takut bahwa kepentingan-kepentingan keempat mazhab tidak akan diakui di Mekkah dan Kairo seperti halnya mereka telah banyak di kecam di Indonesia. oleh Karena itulah, maka pada tanggal 31 Januari 1926 K.H. Hasyim Asjari (1871-1947),  pemimpin suatu pesantren tradisional di Jombang, Jawa Timur, mendirikan Nahdatul Ulama’ (kebangkitan para ulama’, NU) unutk mempertahankan kepentingan kaum Muslimin tradisional (M.C.Ricklefs, 1991:270).
NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M dan pengurusnya besarnya berkedudukan di Surabaya sebagai pembela mazhab Syafi’i.  perkumpulan ini meluas mejadi suatu perkumpla umat Islam yang umum, bermazhab Syafi’I dan beribadah mengikuti ajaran ahlusunnah wa al jam’ah. Anggaran dasarnya disahkan dengan keputusan Gubernur Hindia Belanda pada 6 Februari 1930 No. 23 ( Abdul Karim, 2007:338).
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diterapkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik. Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Para pemuda dari NU selain belajar dan mendalami Agama,tapi juga mengajarkan ikatan kebangsaan. Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab, dan para kiai lainnya semuanya menunjukkan kemampuan memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas, melahirkan wawasan dan orientasi politik substantif. Cara NU membawa ajaran Islam tidak melalui jalan formal, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi dengan cara lentur dan akomodatif. Politik kebangsaan seperti itu secara konsisten menjadi garis politik NU sepanjang perjalanan Indonesia merdeka.
2.1.4        Ahmadiyah








Mirza Ghulam Ahmad (pendiri Ahmadiyah) dan lambang Ahmadiyah

Gerakan Ahmadiyah pertama muncul di Kadian, India (sebelah utara Amsar) pada bulan September 1929. Nama dan asalnya adalah Mirza Ghulam Ahmad. Sesudah banyak mempelajari dan menulis tentang Agama Islam ia menamakan dirinya Mujaddid (Pembaharu) Agama Islam, dan kemudian tahun 1988 dalam usia 50 tahun ia mengaku dirinya sendiri Messias yang di tunggu-tunggu oleh kaum Kristen. Kaum Ortodoks tidak percaya kepdanya dan menentang dia. Tetapi Hizart Mirza Ghulam Ahmad berhasi mendirikan suatu alairan baru degan pengikutnya (Pringgodigdo, 1986:94). Ia tidak mengusik keluhuran Qur`an dan Nabi, tetapi mempunyai beberapa faham-faham sendiri yang jauh berbeda dengan faham adat kebiasaan umum. Berkembangnya aliran baru ini sering mendengungkan sabda Allah yang berbunyi bahwa sahnya dalam hal agama tidak ada paksaan. Lagi pula aliran ini mengemukakan sekali kewajiban-kewajiban manusia untuk bertindak baik (Pringgodigdo, 1986:94).
Agama Kristen ditentang menurut pelajaran-pelajaran agama (theologis), tetapi politik selalu disingkirkan oleh Ahmadiyah ( Mirza seorang sahabat negri Inggris) (Pringgodigdo, 1986:94). Setelah ia meninggal (tahun 1908) datanglah perpecahan dalam Ahamdiyah yang waktu itu telah mempunyai 70.000 pengikut di India. Dalam tahun 1913 satu golongan Kwjah Kamaluddin pergi ke Lahore dan mendirikan Agama Anjuman Ishtaati Islam (Perkumpulan untuk menyebarkan Agama Islam), dan yang lainnya tetap tinggal di Kadian dibawah Mirza Bsjiruddin Ahmad, anak Mirza Ghulam Ahmad. Perpisahan dua golongan ini makin lama makin bertambah besar juga penguasaan tentang ilmunya (Pringgodigdo, 1986:94).
Meskipun mengalami perpecahan tetapi kedua-duanya bersemangat keras, kadang-kadang bercorak menyerang dan bekerja banyak dalam usaha menyebarkan Agama Islam dimana-mana. Oleh sebab itu Ahmadiyah tersebar di seluruh Dunia (Birma, Selon, Tiongkok, Iran, Mesir, Afrika Selatan, Australia, Eropa) juaga masuk ke Indonesia. Selanjutnya di Lahore dan juga ke Kadian datanglah bebrapa pelajar-pelajar Indonesia untuk mempelajari ilmunya. Pusatnya di Indonesia adalah Yogyakarta, temapat kediaman Mirza Wali Ahamd Beig, seorang Hindu sejak tahu 1924 (aliran Lahore) dan Jakarta dengan utusan penyebar Mulvi Rachmat Ali, juga seorang Hindu ( aliran Kadian) (Pringgodigdo, 1986:94). Kedua-duanya tidak mencapuri politik dan hanya mempersoalkan prinsip-prinsip keagamaan dalam Islam, kadang-kadang anti-keristen. Ahmadiyah berpendirian derajat umum Agama Islam lebih tinggi dari pada Agama Kristen (Pringgodigdo, 1986:95), ia bercita-cita akan memasuki kalangan pemuda-pemuda terpelajar yang tidak mengakui Agama dan pemuda-pemuda yang oleh karena menuntut pelajaran barat jadi terlepas dari Agama Islam. Buat Muhammadiyah ia merupakan satu saiangan, akan tetapi kondisi yang mencengankan ternyata Erfan Ahamda Dahlan, anak pendiri Muhammadiyah, akhirnya memluk aliran Ahmadiyah (Pringgodigdo, 1986:95).
Dengan bebrapa anggota Muhammadiyah terpelajar Mirza Wali Ahamd Beig (seperti yang telah disebut penyokong Tjokroaminoto dalam menterjemahkan Al-Quaran) dalam september 1929 mendirikan perkumplan dengan nama “ De Ahmdiyah Bewegin Indonesia” (Gerakan Ahamdiya Indonesia). grakan ini didasarkan atas  :
a.       Quran, kitab suci sempurna yang terakhir, dasar dan arah hidup terbaik untuk manusia.
b.      Keyakinan bahwa Muhammad S.A.W. adalah Nabi penutup, sesudahnya tidak akan ada lagi Nabi lain: bahwa Nabi Muhammad contoh yang terbaik buat manuisa, dan oleh karen aitu mausia harus mengikutinya sebagai contoh.
c.       Pengakuan bahwa sesudah Mihrad Nabi Muhammad S.A.W. akan datang Mudjaddid-Mudjaddid dari abad 14 sesudah Hijriah (Pringgodigdo, 1986:95).
Tujuan geraka (aliran Lahore) ialah memajukan Agama Islam dengan menjalankan utusan penyebar , propoganda, meyebar buku-buku, bekerja bersama-sama dengan orang lain yang bekerja untuk agam Islam. Dimulai dengan membentuk pengurus besar dan 6 cabang. Anggotanya terutama dicari di kalangan kaum terpelajar didikan Barat, sebab hanya golongan inilah dapat diharapkan bisa berpropoganda yang berhasil untuk agam Islam, menentang Agama Kristen, dan juga oran-orang inilah yang tercakap unutk menjaga agar pemuda terpelajar tetap memeluk Agama Islam (Pringgodigdo, 1986:95).
Aliran Lahore dengan sengaja mencari hubungan dengan kaum Nasionalis, oeh sebab itu ia dapat beridiri hidup di Jawa lebih dulu dari pada aliran Kadian, meskipun pelajar-pelajar Indonesia di India lebih menyukai aliran Kadian, aliran Kadian tidak mempunyai golongan lain, tinggal menyendiri (Pringgodigdo, 1986:95).
Gerakan Ahmadiayah Indonesia tanggal 23-25 Juni 1930 mengadakan kongres di Purwokerto, pada waktu itu, antara lain adnya perpecahan dikalangan Islam dan bahaya-bahaya yang mengancam (Agama Kristen, Ateisma). Dianjurkan agar anak-anak dimasukkan sekolah Barat asal saja jangan ketinggalan dalam hal memberi pelajaran Qur`an (Pringgodigdo, 1986:96).

2.2  Relevansi Pergerakan Nasional Bersendikan Agama dengan
Perjuangan Bangsa Indonesia Secara Universal
Secara universal perjuangan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan adalah berjuang demi pembebasan bangsa dari belenggu penjajah. Ada berbagai macam cara yang dilakukan untuk merealisasikan pembebasan tersebut. Diantaranya adalah melalui pendirian organisasi pergerakan yang berhaluan agama. Meskipun organisasi pergerakan ini tidak seragam secara keseluruhan akan tetapi esensial dari tujuannya tetap sejalan dengan perjuangan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Pergerakan Nasional yang banyak diperankan oleh organisasi pergerakan yang berhaluan agama (khususnya di sini adalah agama Islam) memang terkadang banyak menimbulkan beberapa kontroversi. Kondisi Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku Bangsa dengan latar belakang yang berbeda, seperti agama yang berbeda sering memunculkan kesan egoistis dari pihak Islam. Memang tidak bisa dipungkiri perubahan yang ingin dicapai melalui Modernisasi dalam bidang Agama bukan hanya menginginkan kemerdekaan Indonesia semata. Akan tetapi moderenisasi tersebut juga bertujuan untuk merubah pola pikir rakyat yang semula terikat pada tradisi agar mampu melakukan sebuah improvisasi.
Golongan pembaharuan lebih memberikan perhatian pada sifat Islam pada umumnya, bagi mereka Islam harus sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam berarti kemajuan, Agama tidak akan menghambat usaha untuk mencari ilmu pengetahuan, perkembangan sains, kedudukan wanita karna Islam adalah Agama Universal (Deliar Noer, 1973:322).
Dalam agama Islam, cinta terhadap tanah air merupakan setengah dari pada iman. Oleh sebab itu meskipun agama dan kebangsaan merupakan dua ihwal yang berbeda, akan tetapi dapat dikombinasikan menjadi satu kesatuan yang akan saling mengisi. Pergerakan Nasional Kebangsaan yang banyak diperankan oleh organisai-organisasi pergerakan yang berhaluan agama banyak sekali memberikan kontribusi bagi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Menyimak kondisi tersebut dapat disimpulkan ternyata meskipun pergerakan Nasional kebangsaan yang berhaluan agama terkesan  tidak mewakili kondisi rakyat yang berbeda-beda, akan tetapi pergerakan-pergerakan tarsebut tatap relevan dengan kondisi perjuangan Bangsa Indonesia secara universal.

2.3  Sepak Terjang Organisasi-Organisasi Pergerakan Nasional
Bersendikan Agama dalam Peranannya Terhadap Bangsa Indonesia
Peranan-organisasi pergerkan Nasional yang beridiologi Agama di Indonesia ternyata banyak memberikan pengaruh terhdap perubahan pola fikri rakyat pri bumi, sehingga rakyat sadar akan dirinya untuk mau memperjuangkan aspirasinya. Kemerdekaan Indonesia dapat berjalan apabila seluruh rakyat Indonesia mau bersatu mendukung kemerdekaan itu, hal inilah yang menjadi tujuan dari setiap organisasi pergerakan yang ada di Indonesia termasuk juga organisasi perjuangan kemerdekaan Indonesia yang bernafaskan Agama, semuanya memengingkan agar rakyat Indonesia dapat hidup dengan layak di Negaranya sendiri, dan tidak di jajah lagi oleh Negara manapun.
Organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan Agama memiliki peranan dalam hal pemabangunan pendidikan, mempersatukan ummat diseluruh Indonesia, mengubah pola pikir rakyat Indonesia yang masih bersifat feodal agar mereka berani mengeluarkan aspirasinya untuk bersatu memperjuangkan kemerdekaan rakyat Indonesia. Adapun peranan dari masing-masing organisasi yang berideologikan Agama dalam Bangsa ini sebagian besar organisasi itu adalah SI, Muahammadiyah, NU.
2.3.1    Peranan Sarekat Islam (SI)
Perkembangan pendidikan di Indonesia juga banyak diwarnai oleh pendidikan yang dikelola umat Islam. Ada tiga macam jenis pendidikan Islam di Indonesia yaitu pendidikan di surau atau langgar, pesantren, dan madrasah. Walaupun dasar pendidikan dan pengajarannya berlandaskan ilmu pengetahuan Agama Islam, mata pelajaran umum lainnya juga mulai disentuh. Usaha pemerintah Kolonial Belanda untuk memecah belah dan Kristenisasi tidak mampu meruntuhkan moral dan iman para santri. Tokoh-tokoh pergerakan Nasional dan pejuang Muslim pun bermunculan dari lingkungan ini. Banyak dari mereka menjadi penggerak dan tulang punggung perjuangan kemerdekaan. Rakyat Indonesia yang mayoritas adalah kaum Muslim ternyata merupakan salah satu unsur penting untuk menumbuhkan semangat Nasionalisme Indonesia. Para pemimpin Nasional yang bercorak Islam akan sangat mudah untuk memobilisasi kekuatan Islam dalam membangun kekuatan Bangsa. tentang perlawanan Islam terhadap Kolonialisme, dimulai sejak dibentuknya Sarikat Dagang Islam (kemudian SI) untuk mengimbangi Sarikat Dagang Kolonial (VOC) di tanah Jawa.
2.3.2   Peranan Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar mengalami perluasan terkait ruang dan lingkupnya. Muhammadiyah tidak hanya berkiprah dalam dunia dakwah keagamaan saja, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam dimensi sosial kemasyarakatan. Muhammadiyah bukan organisasi politik, akan tetapi Muhammadiyah tidak buta politik, sebaliknya Muhammadiyah selalu berpartisipasi dalam setiap pengambilan kebijakan politis. Muhammadiyah memberikan dukungan ataupun tuntutan yang digunakan sebagai in put untuk memperbaiki tingkat kehidupan dan derajat manusia. Dukungan ataupun tuntutan disalurkan secara terorganisir oleh Muhammadiyah sehingga akan mempengaruhi proses pengambilan kebijakan pemerintah (konversi). Sesuatu yang dihasilkan dari out put akan mendapatkan evaluasi dalam bentuk timbal balik (feed back) dari Muhammadiyah (Tamimy, M.Djindar. 1990).
Aksi sosial Ahmad Dahlan bukan semata gerakan keagamaan dalam arti ritual, melainkan bisa disebut sebagai “revolusi kebudayaan”. Berbagai gagasan dan aksi sosial Ahmad Dahlan tidak hanya mencerminkan nalar kritisnya, melainkan juga menunjukkan kepedulian pada nasib rakyat kebanyakan yang menderita, tidak berpendidikan dan miskin (Sirin, Winata. 1995. Gerakan Pembahruan Muhammadiyah).
Ahmad Dahlan tidak menginginkan masyarakat Islam yang seperti dahulu, ataupun masyarakat baru yang membentuk budaya Islam baru. Jalan yang ditempuh Ahmad Dahlan adalah dengan menggembirakan umat Islam Indonesia untuk beramal dan berbakti sesuai dengan ajaran Islam. Bidang pendidikan misalnya, Ahmad dahlan mengadopsi sistem pendidikan Belanda karena dianggap efektif, bahkan membuka peluang bagi wanita Islam untuk sekolah. Sedangkan dibidang sosial Ahmad Dahlan mendirikan panti asuhan untuk memelihara anak yatim dan anak-anak terlantar, yang kemudian banyak berkembang yayasan-yayasan Yatim Piatu Muhammadiyah, Rumahsakit PKU Muhammadiyah, dan lembaga pendidikan Muhammadiyah baik TK, SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang jumlahnya terbesar di Indonesia (Tamimy, M.Djindar. 1990).
2.3.3   Peranan Nahdatul Ulama’ ( NU )
Pada dasarnya NU tidak mencampuri urusan politik dan dalam kongresnya pada bulan oktober 1928 di Surabaya, diambil keputusan untuk menentang reformasi kaum moderenis. Selama sepuluh tahun setelah berdirinya, NU menunjukkan kegiatan sendiri namunk, karna terdesak kebutuhan untuk mengadakan persatuan umat umat islam maka pada tahun 1937 NU begabung dalam M.I.A.I. hal ini dapat dimengerti bahwa kerjasama politik akan lebih menguntungkan dalam menghadapi tantangan dari luar, khususnya ancaman Jepang yang mulai bergerak ke Selatan (Suhartono, 1994: 50-51). Dalam kongres-kongres selanjutnya terdapat keputusan yang menyebutkan bahwa di samping beragama islam anggota NU juga harus berhaluan Nasional Indonesia. adapun putusan kongres yang dilarang untuk disiarkan adalah perkerasan, pengamatan berhubung dengan keadaan perang (Pringgodigdo, 1986: 172).
Adapun peranan NU unutk Bangsa Indonesia antara lain :
1.      Di bidang Agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  1. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
  2. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keIslaman dan kemanusiaan.
  3. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
  4. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
(www.wikipedia.com//21-februari-2011//sejarah-NU).
Perkembangan selanjutnya NU banyak memberikan peranan penting di antaranya adalah, dimulai dari resolusi Jihad pada 1945 hingga ketika menghadapi gerakan- gerakan separatis berbau Agama seperti DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta maupun pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan pada 1950-an hingga 1960-an. Pada semuanya itu, NU berdiri tegas di pihak republik.Mereka juga selalu siap membela keutuhan NKRI dari intervensi luar. Garis politik seperti itulah yang memudahkan kalangan NU menerima Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final perjuangan umat Islam, sebagai sesuatu yang harus dibela dan dipertahankan. Itu semua berkat pelajaran sang guru, Syekh Zaini Dahlan, almaghfurlah.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan masalah mengenai pergerakan Nasional yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses pergerakan Nasional yang terjadi di Indonesia, ada berbagai corak yang melatar belakanginya, di antaranya adalah pergerakan Nasional yang dilatar belakangi atas dasar Agama, atas dasar politik, atas dasar ekonomi, dan masih banyak lagi pergerakan-pergerakan Nasional yang berkembang yang dilatar belakangi oleh persamaan-persamaan sosial lainnya. Meskipun adanya perbedaan-perbedaan yang melatar belakangi pergerakan Nasional di Indonesia, namun hal tersebut tidak menjadi suatu masalah, karna pada dasarnya esensial dari pergerakan-pergerakan tersebut adalah mengupayakan suatu kondisi Bangsa yang layak disandang oleh Indonesia.
Salah satu corak pergerakan Nasional yang menarik kita telisik adalah oerganisasi-organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan Agama. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kontribusi organisasi-organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan Agama dalam proses menciptakan kondisi Bangsa yang merdeka sangatlah besar. Munculnya pergerakan-pergerakan yang berhaluan Agama ini dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor pemurnian Agama, persatuan Agama, dan moderenisasi Agama (Pringgodigdo, 1986: 2-3).
Meskipun organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan agama ini terkadang memberikan kesan tidak melakukan penghimpunan secara keseluruhan melainkan hanya terhimpun atas dasar golongan saja, akan tetapi hal itu tidak menjadi kendala karena esensial dari setiap pergerakan organisasi tersebut adalah menciptakan kondisi yang benar-benar layak disandang oleh bangsa ini. Ketika kita tinjau dari aspek kebangsaan dengan menggunakan sudut pandang agama ternyata perkembangan bangsa yang diusahakan melalui haluan agama mampu relevan dengan perjuangan bangsa secara universal, hal ini dapat dirasakan dengan terciptanya kondisi bangsa saat ini yang tidak bisa dipungkiri merupakan hasil dari kontribusi organisasi-organisasi pergerakan Nasional yang berhaluan agama pada masa pra kemerdekaan dahulu.
3.2 Saran
Menyimak eksistensi dari setiap organisasi pergerakan nasional pada masa pra kemerdekaan, pemakalah memberikan saran bahwasanya segala bentuk dinamika dari apa yang terjadi pada masa itu tentunya mampu memberikan sebuah pembelajaran yang primer bagi semua generasi penerus bangsa. Jangan sampai kita seperti ibarat “Ikan yang terkena pancing dua kali dengan umpan yang sama”.
Perbedaan memang secara alamiah akan selalu ada dalam segala hal. Akan tetapi melalui setiap perbedaan inilah kita harus mengimplementasikan kecerdasan, keprofesionalan, dan keluasan pola pikir. Selanjutnya pemakalah menekankan generasi muda harus mampu aktif mengisi kemerdekaan ini sehingga segala bentuk pergerakan dan perjuangan generasi terdahulu menjadi sia-sia.




DAFTAR PUSTAKA


Dekkeer, I Nyoman. 1969. Sejarah Indonesia Baru. Malang.---------

Djoened Poesponegoro, M. & Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Firdaus. 1997. Sarekat Islam Bukan Budi Utomo. Jakarta : CV. Datayasa.

Karim, Abdul M. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yoyakarta : Pustaka Book Publisher

Djoened Poesponegoro, M. & Notosusanto, Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Noer, Deliar. 1985. Gerkan Moderen Islam di Indonesia 1900 ~ 1942. Jakarta : LP3ES.

“Muncul dan Berkembangnya Pergerakan Nasional Indonesia”, dalam http://www.crayonpedia.org/mw/, diakses pada tanggal 23 Febriari 2011.

Murni, Sri Pangestri Dewi. 2005. Pergerakan Nasional Indonesia. dalam http://library.usu.ac.id/download/fs/sejarah-sri%20pangestu.pdf, diakses pada tanggal 23 Febriari 2011.

Pringgodigdo. 1986. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta : PT. Dian Rakyat.

Ricklefs, M. C. 1991. A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan.

Satria, Hariqo Wibowo. 2010. Lafran Pane “Jejak Hayat Pemikirannya”. Jakarta : Lingkar Penerbit.

Soemardjan, Selo. 2000. Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Subianto, Prabowo. 2010. Membangun Kembali Indonesia Raya ”Haluan Baru Menuju Kemakmuran”. Jakarta : Institut Garuda Nusantara.

Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional “dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.